Gerimis turun menjelang sore di awal November. Udara dingin dan jalanan Yogya yang basah mengundang keinginan menikmati sajian hangat. Segelas kopi adalah pilihan terbaik, dan sepotong arang di atasnya menjadi tambahan pengalaman tak terlupakan. Karena itulah, Angkringan Lik Man jadi tujuan.
Angkringan adalah tempat jajan yang umum ditemukan di Yogyakarta. Sebuah gerobak dengan tenda peneduh, dilengkapi dua atau tiga bangku panjang mengelilingi gerobak itu. Tiga ceret atau panci seduh air ada di satu sisi, sementara tumpukan nasi kucing ada di ujung satunya. Ceret itu memanaskan air sepanjang waktu, agar minuman panas selalu tersedia. Bara arang menjadi pemanasnya, sekaligus menghangatkan suasana bagi penikmat sajian ala rakyat jelata.Salah satu angkringan paling populer di Yogyakarta, adalah Lik Man. Sebenarnya dia bukan generasi pertama, karena ayahnya lebih dulu berdagang. Tetapi Lik Man menjadi merek dagang populer, karena dialah yang menyajikan pertama kali kopi dengan tambahan arang membara, yang kemudian disebut kopi jos.
“Terjadinya kopi jos itu, temennya Pak Dhe, yang kusir andong cerita kalau perutnya enggak enak. Terus Pak Dhe iseng-iseng bikin kopi gelas kecil, dikasih bara api, terus dibalikin. Pas waktu bara api dikasih ke kopinya, bunyinya jess. Jadi ini diberi nama kopi jos,” kata Tri Novita, keponakan Lik Man.Tri Novita adalah generasi ketiga di angkringan ini. Awalnya, seorang lelaki asal Klaten bernama Mbah Prawira atau Paira, merantau ke Yogyakarta dan merintis usaha berjualan makanan-minuman murah, sekitar pertengahan tahun 1950-an. Tidak seperti kawan-kawannya sesama penjual angkringan, Mbah Paira memilih menggunakan pikulan sehingga bisa membawa dagangannya berkeliling.
Usaha itu sempat terhenti pada 1965, lalu buka lagi tiga tahun kemudian di kawasan Stasiun Tugu Yogyakarta. Sempat pindah lokasi, angkringan itu kemudian menempati trotoar di utara stasiun, yang juga disebut Jalan Wongsodirjan, mulai 1974. Lik Man dan adik kandungnya yang merupakan ibu dari Tri Novita, meneruskan usaha angkringan Mbah Paira ini.
Lik adalah kependekan dari Paklik atau Pak Cilik. Panggilan di masyarakat Jawa untuk menyebut seseorang usianya dianggap lebih muda dari orang tua pemanggil. Sebutan lain adalah Pak Dhe, atau Pak Gedhe, yang dipilih jika yang dipanggil kira-kira lebih tua dari orangtua kita. Lik Man adalah panggilan akrab, karena sebenarnya laki-laki itu bernama asli Siswo Raharjo. Dia sendiri sudah pensiun menjadi barista pada 2008, dan menikmati hari tuanya di Klaten.BACA JUGA: 'Toxic Relationship': Cinta, Sianida dan Perempuan Korban Manipulasi PerasaanKarena revitalisasi kawasan stasiun, April 2021 lalu Angkringan Lik Man terpaksa pindah ke lokasi baru. PT KAI menyediakan ruangan kecil di sisi selatan stasiun.
“Tetapi di sana tempatnya kecil, makanya aku buka disini yang lebih luas. Ada lesehannya. Tetapi di sana juga tetap jualan, yang menjaga menantunya Lik Man,” tambah Novita. Kopi jos kini tersedia di dua tempat. Di selasar selatan Stasiun Tugu yang lebih dekat ke kawasan pusat wisata Malioboro. Lokasi kedua ada di Jalan Poncowinatan 7, beberapa ratus meter di sebelah utara Tugu Yogya, yang juga menjadi spot wisata populer.Perpindahan itu tidak menyurutkan minat pada angkringan Lik Man, khususnya kopi jos. Setiap akhir pekan, wisatawan berjejal di sepanjang jalan, bahkan termasuk diantaranya wisatawan asing yang penasaran dengan rasanya. Tidak lagi di bangku panjang, penikmat kopi jos justru lebih banyak duduk lesehan di trotoar tepi jalan.
Kadar Kafein Kopi TurunKopi jos adalah kopi tubruk, sebagaimana yang Anda buat di rumah. Bedanya, setelah kopi jadi, sebongkah arang yang masih membara ditambahkan ke dalamnya. Arang itu diambil dari anglo yang memang dipakai untuk memanaskan air penyeduh kopi. Salah satu yang membuat rasanya berbeda, adalah penggunaan arang kayu asem.
“Bisa untuk obat masuk angin. Katanya kalau perutnya mual-mual, enak kalau habis minum kopi jos,” ujar Novita lagi.Setidaknya itu bisa dikonfirmasi dari salah satu penikmat kopi jos, Heru Susanto yang sudah menikmatinya sejak sekitar enam tahun lalu.
“Kalau yang umum itu, karena dia panas, asam kopinya jadi hilang. Perut enggak kembung. Kopinya matangnya dari arang, bukan matang dari air panas. Sekalipun air panas mendidih, beda dengan panasnya dari arang,” ujar Heru. Kopi, dalam beberapa kasus, memang tidak ramah untuk sebagian orang. Perut perih dan kembung bisa muncul setelah menikmatinya. Kopi jos memberi pengalaman berbeda, karena arang tidak hanya memberi sensasi tambahan, tetapi juga memiliki fungsi. Ahmad Fauzan, seorang mahasiswa Kimia di Universitas Gadjah Mada, pernah melakukan penelitian mengenai kopi jos. Dalam paparan hasil penelitian berjudul Kajian Fisikokimia Penambahan Arang Kayu pada Minuman Tradisional Kopi Jos, terbukti arang mampu mengurangi kandungan kafein kopi.“Hasil penelitian menujukkan, bahwa arang kayu merupakan absorben yang baik, karena memiliki angka serap terhadap iodium sebesar 83 persen. Minuman kopi hitam memiliki kadar kafein sebesar 68,78 mg/100 mL, dan minuman kopi jos sebesar 55,13 mg/100mL,” papar Fauzan.
Dia juga merinci, adsorpsi kafein secara optimal terjadi pada menit ke 40, dengan kafein yang terserap sebesar 20,15 mg/100mL. Penambahan arang juga relatif tidak berpengaruh terhadap penampilan fisik dan cita rasa kopi jos. Kuliner Rekomendasi YogyaPenulis buku kuliner Monggo Mampir: Mengudap Rasa Secara Jogja, Syafaruddin Murbawono memasukkan angkringan Lik Man dan kopi jos sebagai salah satu kuliner pilihan di Yogyakarta.
Monggo Mampir adalah kumpulan kisah pusat makanan tradisional Yogyakarta. Termasuk dalam daftar bersama kopi jos Lik Man, antara lain adalah Soto Sawah, Soto Tamansari, dan Soto Kadipiro, ayam goreng Mbok Sabar, bakmi Mbah Mo Bantul, Bakmi Pak Pele, Bakmi Kadin, hingga nasi brongkos Handayani Alun-Alun Kidul, mangut lele Jetis Bantul, oseng-oseng mercon Sunarti, dan sego nggeneng Sewon Bantul.“Warung Lik Man populer karena warung nasi angkringan ini boleh dikatakan menjadi pelopor. Waktu itu, konsep warung nasi masih tenda buka tutup. Sementara Lik Man sudah mulai dengan konsep warung pikulan, di kanan-kiri terdapat berbagai sajian, mulai nasi kucing, gorengan, dan berbagai minuman,” kata Syafaruddin kepada VOA.
Popularitas awalnya, terbangun karena warung itu dipikul dan bergerak mencari konsumen. Lik Man, menurut Syafaruddin, termasuk yang awal mengenalkan nasi kucing. Ini adalah menu nasi bungkus berlauk potongan kecil ikan yang disebut gereh, plus sambal atau berlauk oseng-oseng. “Ukurannya yang kecil menjadi populer dan disebut nasi kucing. Dulunya, warung nasi pinggir jalan disajikan dengan piring, kini hanya dibungkus dengan ukuran lebih ekonomis,” tambahnya. Rata-rata harga sebungkus nasi kucing saat ini antara Rp 1000 hingga Rp 1.500. Pelengkapnya adalah aneka gorengan, cakar, kepala ayam dan ati ampela.BACA JUGA: Pemerintah Serahkan Paket Bantuan Rp1,2 Triliun untuk Pedagang KecilMeski harus dibuktikan, tetapi label bahwa kopi jos bermanfaat untuk mengusir masuk angin dan meriang, juga membantu mengerek popularitasnya. Tetapi bagaimanapun, sajian kuliner khas ini direkomendasikan.
“Bagi yang ingin menikmati di Yogya dengan sebenar-benarnya, angkringan Lik Man jelas masuk dalam rekomendasi. Di situlah berkumpul warga Yogya dengan segala coraknya. Angkringan adalah aura Yogya yang slow, yang tidak terburu-buru. Selalu mengutamakan paseduluran dan ngobrol tak ada ujung,” tambah Syafaruddin. Ya, memesan segelas kopi jos Lik Man seperti membeli waktu untuk duduk hingga tengah malam, bertukar kabar, menikmati kota dan manusia-manusia yang menghidupkan suasananya. [ns/iy/ah]