Jepang diperkirakan akan mengumumkan perombakan kebijakan pertahanan terbesarnya dalam puluhan tahun pada pekan ini, termasuk menaikkan anggaran belanja pertahanan, mengubah komando militernya dan memperoleh rudal baru untuk mengatasi ancaman dari China.
Kebijakan-kebijakan yang akan diuraikan dalam tiga dokumen pertahanan dan keamanan, yang paling cepat akan diungkap pada Jumat (16/12) mendatang, akan mengubah lanskap pertahanan Jepang, yang konstitusi pascaperangnya bahkan tidak secara resmi mengakui keberadaan militer.
“Memperkuat dasar-dasar kemampuan pertahanan kita merupakan tantangan paling mendesak di tengah lingkungan keamanan yang parah ini,” kata Perdana Menteri Fumio Kishida akhir pekan lalu.
“Kita akan segera meningkatkan kemampuan pertahanan kita dalam lima tahun ke depan.”
Perubahan itu disebabkan oleh ketakutan Tokyo akan berkembangnya kekuatan militer dan postur China di kawasan, demikian juga berbagai ancaman yang ada, dari peluncuran rudal Korea Utara hingga invasi Rusia ke Ukraina.
Perubahan utama dalam kebijakan baru Jepang adalah janji untuk meningkatkan anggaran belanja hingga dua persen dari produk domestik bruto (PDB) mereka pada tahun 2027. Hal tersebut akan membawa Jepang sejajar dengan anggota-anggota NATO.
Hal itu menandai peningkatan yang signifikan dari pengeluaran selama ini yang hanya sekitar satu persen. Perubahan itu memicu kritik tentang dari mana anggaran itu akan dibiayai.
Anggaran itu rencananya akan mendanai proyek-proyek seperti akuisisi “kapasitas serangan balik,” seperti yang disebut Jepang, yaitu kemampuan untuk menembak lokasi peluncuran yang mengancam negara itu, bahkan secara mendahului (preemptive).
Sebelumnya, Jepang menghindari penguasaan kemampuan itu karena perselisihan tentang apakah hal itu dapat melanggar batas konstitusi untuk membela diri.
Menanggapi kontroversi tersebut, dokumen kebijakan itu dilaporkan akan menegaskan bahwa Jepang tetap berkomitmen pada “kebijakan keamanan yang berorientasi pada pertahanan diri” dan “tidak akan menjadi kekuatan militer.”
Sebagian kapasitas itu terdiri atas 500 rudal jelajah Tomahawk buatan AS. Jepang dilaporkan mempertimbangkan untuk membelinya sebagai penahan, sementara Jepang sendiri mengembangkan rudal jarak jauh di dalam negeri. [rd/rs]