Yahya Rafii sudah hampir empat tahun terkatung-katung di Indonesia. Ia bersama keluarganya lari dari Afghanistan karena kerap diburu Taliban dan ISIS. Yahya berasal dari suku Hazara yang menganut Islam-Syiah. Di Afghanistan, aliran ini dianggap sebagai ajaran sesat yang harus diberantas. Berbekal tabungan ala kadarnya dan informasi tentang Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang merangkul berbagai aliran, Yahya bersama puluhan warga suku Hazara itu memberanikan diri datang ke Indonesia.
"Sekarang Afghanistan lagi konflik, kebanyakan ada Taliban atau sekarang baru ada ISIS. Di sana gak aman. Ada masalah dengan Hazara dan Syiah. Jadi kita tidak bisa di sana, gak aman buat kita," ujar Yahya.
Beberapa pekan lalu warga suku Hazara asal Afghanistan ini mengadakan unjuk rasa di depan kantor Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi UNHCR di Jakarta. Mereka mempertanyakan lambatnya prosedur di UNHCR untuk membantu menempatkan mereka ke negara ketiga. Ini terkait dengan posisi Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, sehingga hanya berfungsi sebagai negara transit. Indonesia tidak bisa begitu saja menetapkan status para imigran itu sebagai pengungsi atau pencari suaka. Penentuan status harus dilakuan oleh Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi UNHCR, yang tak jarang memakan waktu sangat lama. Seseorang yang sudah mendapat status pengungsi sekali pun misalnya tetap tidak bisa bekerja di negara yang berstatus negara transit, dan harus menunggu penempatan di negara ketiga. Dalam kasus Yahya, negara ketiga yang diinginkannya adalah Australia, karena sudah ada beberapa kerabatnya yang berada di sana.
Your browser doesn’t support HTML5
Pengamat di Universitas Monash, Australia, Antje Missbach mengkritisi hal ini.
“Soalnya mereka di sini tidak ada hak untuk bekerja dan itu bisa menjadi salah satu masalah cukup sulit untuk mereka. Apalagi kalau mereka menetap disini lama. Pada awalnya, kebanyakan orang datang ke Indonesia karena harap ini cuma persinggahan cepat, nanti akan ditempatkan secara resmi atau naik kapal aja lari ke Australia,” ungkap Antje.
Menurut Antje beberapa tahun belakangan ini, Australia, yang mulai kewalahan dengan masuknya arus pengungsi besar-besaran, menerapkan berbagai kebijakan, mulai dari membatasi arus masuk, melakukan patrol kapal laut dan memblokir kedatangan “manusia perahu” sejak masih di tengah laut serta memulangkan mereka, hingga bekerjasama dengan beberapa negara kecil di Kepulauan Pasifik untuk membangun dan mengelola tempat penampungan pengungsi. Australia memang berkewajiban menampung pengungsi karena sudah menandatangani Konvensi Pengungsi Tahun 1951 itu. Menolak pengungsi dinilai sebagai pelanggaran hukum internasional yang sudah diratifikasinya, meskipun menerima pengungsi pun menjadi sorotan tajam di dalam negerinya.
“Biasanya dulu semua orang datang ke Australia bisa minta perlindungan dengan mendaftar untuk salah satu visa, yaitu visa perlindungan. Kalau sudah sampai ke pulau kecil, mereka berhak minta diproses. Tapi sekarang ini Australia mengubah undang-undang mereka sehingga tidak ada zona imigrasi lagi,” tambahnya.
Antje menambahkan dengan perubahan undang-undang itu, setiap pengungsi yang datang ke Australia akan dikirim ke dua pulau terpencil, yang terletak di negara tetangga Australia; Nauru dan Papua New Guinea. Ironisnya meskipun sudah berada disana selama bertahun-tahun, kehidupan para pengungsi pun masih mengenaskan.
Meskipun demikian Yahya Rafii tetap ingin datang ke Australia karena terbayang iming-iming keluarganya di negara itu tentang penghidupan yang jauh lebih baik. [fw/em]