Menurut Jokowi, keyakinannya berawal dari hasil sero survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Kementerian itu telah melakukannya tiga kali dan hasilnya selalu menunjukkan bahwa tingkat imunitas masyarakat terhadap COVID-19 di atas 80 persen. Ia yakin, tangkat imunitas itu bisa dinaikan menjadi 90 persen.
“Asal nanti (hasil) sero survei kita sudah di atas 90 persen, artinya imunitas kita sudah baik, ada apapun, darimana pun ya tidak masalah,” ungkap Jokowi, di Jakarta, Senin (26/12).
Meski begitu, Jokowi tetap menginstruksikan Kemenkes untuk melakukan penelitian apa sebenarnya yang mengakibatkan kasus harian COVID-19 di Indonesia sudah turun di bawah 1.000 kasus per hari. Menurutnya, hal ini dibutuhkan agar pemerintah kelak tidak keliru dalam menentukan kebijakan pengendalian pandemi COVID-19 di tanah air.
“Seperti sekarang ini kan, kasus harian kita sudah turun di bawah 1.000, tapi karena apa? Itu yang harus dilihat, harus dikaji, apakah karena imunitas kita sudah baik, atau karena virusnya sudah gak seneng dengan Indonesia? Kan macam-macam. Pergi ke tempat lain, pergi ke negara lain. Itu jadi, tunggu kajian dari Kementerian Kesehatan, dari para pakar epidemiolog, semuanya agar memutuskannya nanti benar,” jelasnya.
Lebih jauh, Jokowi masih belum memutuskan apakah pada akhir tahun nanti pemerintah benar-benar akan mencabut status Pembatasan Pemberlakukan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Ia sendiri sampai saat ini masih belum mendapat laporan dari Kementerian Kesehatan.
“Belum, untuk PSBB, PPKM belum sampai ke meja saya. Nanti kalau sudah selesai, karena ini menyangkut sero survei, menyangkut kajian-kajian yang saya minta harus detail, jangan sampai keliru memutuskan, sehingga sebaiknya kita sabar menunggu,” tambahnya.
Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menuturkan faktor utama ledakan kasus di China pada saat ini adalah pengabaian dalam upaya membangun imunitas di masyarakat selama tiga tahun terjadinya pandemi COVID-19. Negara itu melaporkan adanya 500 ribu kasus dalam baru satu hari.
Your browser doesn’t support HTML5
“Jadi 60 persen kurang lebih penduduk dari China ini dalam potensi rawan secara imunitas untuk terinfeksi COVID-19. Dan yang membuat semakin rawan adalah kurang lebih 130 juta dari lansia belum divaksin penuh, bahkan 40 juta sama sekali belum divaksin,” ungkap Dicky kepada VOA.
Kerawanan tersebut, katanya, ditambah dengan keengganan dari pemerintah China sendiri menggunakan vaksin impor jenis messenger RNA (MRNA) yang sudah terbukti efektif melawan berbagai varian terbaru yakni omicron dan sub variannya. Selama ini, China hanya menggunakan vaksin buatannya sendiri dengan jenis inactivated virus atau virus yang dimatikan.
“Bahwa situasi China yang saat ini meledak diakibatkan oleh adanya sub varian bukan hanya yang baru seperti BF7 tapi, juga masuknya sub varian lain yang efektif seperti BN1, BQ, yang kita tahu memiliki kemampuan dalam menginfeksi secara efektif termasuk menembus proteksi dari vaksinasi apalagi vaksin yang memang tidak cukup efektif. Mau dikatakan bagaimanapun data menunjukkan yang masih cukup efektif umumnya MRNA seperti Pfizer, Moderna, Novavax, yang tentunya ini tidak ada di China, kecuali di Hong Kong atau di Taiwan. Ini yang membuat kenapa kasus akhirnya begitu meningkat sangat tajam infeksinya,” jelasnya.
Maka dari itu, ungkap Dicky, semua negara termasuk Indonesia tidak bisa berpangku tangan atau lengah dengan situasi lonjakan kasus COVID-19 yang saat ini terjadi di China, apalagi negara tersebut merepresentasikan lebih dari 10 persen penduduk dunia, dan 60 persen dari penduduknya berada dalam kondisi yang rentan terhadap infeksi dari beragam sub varian yang ada.
Adanya ratusan juta masyarakat di sana yang terinfeksi COVID-19, katanya, berpotensi melahirkan suatu mutasi virus.
“Jangankan China yang besar sekali jumlah penduduknya, di Inggris saja atau di Afrika Selatan, ketika terjadi gelombang delta, bahkan di awal 2020 itu juga melahirkan varian yang lebih efektif, bahkan lebih mengarah ke kriteria super. Nah ini yang akhirnya akan berdampak ke dunia, jadi ketika misalnya dalam kondisi saat ini, modal imunitas yang baik, kemudian kita lengah, itu akan turunkan proteksi kita," paparnya.
"Artinya kita akan membuka peluang terjadinya atau masuknya virus, masuknya sub varian, kemudian berkembangnya juga sub varian baru yang akhirnya membuat kemampuan si virus ini dalam menginfeksi dan menurunkan efikasi antibody sekarang yang sudah kita miliki,” pungkasnya.
Bila hal itu terjadi, katanya, akan berdampak pada mundurnya kembali masa akhir pandemi COVID-19 yang menurutnya sudah di depan mata. [gi/ab]