Migrant Care Desak Bawaslu Bongkar Calo Suara di Malaysia

Seorang warga Indonesia yang tinggal di Malaysia sedangkan melaksanakan hak pilihnya di Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, 14 April 2019. (Foto: AP)

LSM pemantau buruh migran menemukan sejumlah persoalan dalam pemilihan umum di luar negeri, khususnya Malaysia.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan lembaganya menemukan indikasi adanya calo suara dalam Pemilu 2019 di Malaysia. Menurutnya, temuan tersebut tidak jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Karena itu, Anis mendorong agar Bawaslu dapat membongkar skandal calo suara yang juga berkaitan dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Anis menyebut lembaganya siap memberikan data kepada Bawaslu jika ingin menindaklanjuti kasus calo suara ini.

BACA JUGA: KPU akan Kirim Tim ke Malaysia Untuk Selidiki Kertas Suara

"Kantor KBRI bayangan samping KBRI. Selama ini cukup pro-aktif dan kasat mata melakukan upaya-upaya mobilisasi massa untuk melakukan dukungan kepada calon tertentu yang itu tentu ada nilai jualnya. Dan berelasi dengan calo TKI yang sudah hidup sangat lama di Malaysia," jelas Anis di kantor Bawaslu, Jakarta, Senin (29/4).

Anis menambahkan temuan lain lembaganya di Malaysia, yaitu banyaknya buruh migran tak berdokumen asal Indonesia, yang tidak berani memberikan suara saat hari pencoblosan. Para buruh khawatir akan tertangkap aparat ketika memberikan suara. Migrant Care setidaknya mencatat ada sekitar 2,2 juta TKI tak berdokumen di Malaysia.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah (tengah) bersama Anggota Bawaslu M Afifuddin saat berdiskusi di kantor Bawaslu, Jakarta, Senin, 29 April 2019. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

"Bahkan terdaftar dalam pemilu saja mereka takut. Karena kalau tiba-tiba polisi Malaysia menangkap dan sebagainya, ini juga harus diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Jadi keberadaan mereka yang tidak berdokumen dan berelasi dengan hak politik mereka, ini juga harus diselesaikan," tambahnya.

Peneliti pemilu dari Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay, menilai sebagian penyelenggara pemilu di luar negeri (PPLN) kurang siap. Menurutnya, penyelenggara pemilu kurang dapat memprediksi tingginya partisipasi pemilih di luar negeri. Akibatnya, banyak pemilih yang tidak dapat dilayani oleh penyelenggara pemilu.

BACA JUGA: Kasus Surat Suara Tercoblos di Malaysia, Diupayakan Selesai, Sebelum 14 April

"Berita apa yang terjadi, terutama kasus di Kuala Lumpur, Sydney, Hong Kong betapa antusiasme yang tinggi itu berakhir dengan kekecewaan. Karena tidak bisa dilayani," jelas Hadar Gumay.

Hadar menjelaskan jumlah WNI di luar negeri yang tidak dapat memilih juga cukup besar. Ini tampak dari selisih antara jumlah WNI di luar negeri yang berkisar 9 juta dibandingkan dengan jumlah daftar pemilih tetap luar negeri yang hanya sebanyak 2 jutaan. Di samping itu, data pemilih di luar negeri dan nasional tidak menyambung atau terkoordinasi, sehingga berpotensi adanya pemilih ganda.

Ia menyarankan ke depan penyelenggara pemilu menyatukan data tersebut dan menggunakan teknologi yang memudahkan pemilih di luar negeri guna mengatasi sejumlah persoalan tersebut. Misalnya, dengan menggunakan surat suara pemilu dengan kode khusus atau barcode.

Warga Indonesia yang tinggal di Malaysia mengantre di luar Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, Malaysia untuk melaksanakan hak pilih bagi pemilih di luar negeri, 14 April 2019. (Foto: AP)

Menanggapi itu, Anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin mengucapkan terima kasih kepada lembaga-lembaga yang memantau pelaksanaan pemilu di luar negeri. Kata dia, temuan-temuan tersebut cukup membantu dalam kerja pengawasan lembaganya. Namun, kata dia, kesulitan di luar negeri memang berbeda dengan nasional. Semisal petugas kesulitan mendapatkan paspor dari majikan TKI ketika sedang menyusun daftar pemilih tetap (DPT).

Your browser doesn’t support HTML5

Migrant Care Desak Bawaslu Bongkar Calo Suara di Malaysia

"Catatan di banyak negara yang banyak buruh migran, pekerja domestik. Ketika seseorang diminta paspornya itu sebagian ditahan majikan. Tidak semua majikan itu kooperatif atas situasi yang diinginkan karyawannya untuk dikeluarkan dan didata. Dan ini terjadi di banyak negara," jelas Afif.

Kendala lainnya kata Afif yaitu batas waktu sewa tempat untuk TPS yang sudah habis sehingga membuat pemilih tidak dapat memberikan suara seperti di Sydney. Bawaslu kini masih membahas proses pemungutan suara lanjutan di Sydney. [sm/em]