Mahkamah Konstitusi Uganda, Rabu (3/4) menguatkan undang-undang antigay yang memperbolehkan hukuman mati bagi “tindakan homoseksual berat (aggravated homosexuality).”
Presiden Yoweri Museveni menandatangani RUU tersebut menjadi undang-undang pada Mei tahun lalu. Undang-undang ini didukung oleh banyak orang di negara Afrika Timur tersebut namun dikecam secara luas oleh para aktivis HAM dan pihak-pihak lain di luar negeri.
Para aktivis telah menentang undang-undang tersebut di pengadilan, namun hakim menolak untuk membatalkannya dalam keputusan mereka. Undang-undang tersebut mendefinisikan “tindakan homoseksual berat” sebagai kasus hubungan homoseksual yang melibatkan anak di bawah umur dan kategori kelompok rentan lainnya, atau ketika pelakunya terinfeksi HIV.
Seorang tersangka yang dinyatakan bersalah karena “percobaan tindakan homoseksual berat” dapat dipenjara hingga 14 tahun, sementara mereka yang dinyatakan bersalah karena “percobaan tindakan homoseksual (tidak berat)” dapat dihukum hingga 10 tahun.
Tindakan homoseksual dinyatakan ilegal di Uganda berdasarkan undang-undang era kolonial yang mengkriminalisasi aktivitas seksual “melawan tatanan alam.” Hukuman untuk pelanggaran itu adalah penjara seumur hidup.
PBB menyatakan keprihatinan yang mendalam ketika undang-undang baru tersebut disahkan, dan Kantor Urusan HAM PBB menyebutnya sebagai “resep untuk pelanggaran sistematis terhadap hak-hak” kelompok LGBTQ+ dan kelompok lainnya.
Presiden AS Joe Biden menyebut undang-undang tersebut sebagai “pelanggaran tragis terhadap HAM universal yang tidak layak bagi rakyat Uganda, dan membahayakan prospek pertumbuhan ekonomi yang penting bagi negara itu.”
Tindakan homoseksual dinyatakan sebagai kejahatan di lebih dari 30 dari 54 negara di Afrika. Beberapa orang Afrika melihatnya sebagai perilaku yang diimpor dari luar negeri dan bukan sebagai orientasi seksual. [ab/uh]