Sejumlah survei menunjukkan bahwa uang memiliki peranan penting dalam kontestasi politik di Indonesia. Biaya yang tinggi membuat para tokoh politik kini bergantung pada suntikan dana dari para cukong, yang seringkali mempunyai agenda tertentu dibalik dukungan yang diberikan.
Survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, menemukan bahwa biaya yang diperlukan untuk dapat mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota berkisar di angka Rp20 miliar hingga Rp30 miliar.
Dana tersebut membengkak ketika seseorang ingin maju dalam kontes pemilihan gubernur di mana kandidat harus menyiapkan dana sebesar Rp100 miliar.
Di sisi lain, sejumlah lembaga survei menyebutkan bahwa ongkos yang dibutuhkan untuk bertarung ke Senayan berkisar Rp2 miliar hingga Rp4 miliar. Anggota DPR RI yang juga seorang penyanyi Krisdayanti, sebagai contoh, dalam sebuah wawancara mengaku menghabiskan biaya sekitar Rp3 miliar, meski popularitasnya sebagai seorang artis sudah banyak dikenal masyarakat
Kepala Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Prof Firman Noor, mengingatkan politisi dan partai harus menghindari praktik oligarki tersebut.
“Godaan oligarki saat ini semakin menguat. Menurut Profesor Mahfud MD, 92 persen calon kepala daerah, terkait dengan investor politik atau kerap disebut cukong atau bisalah dikatakan sebagai oligarki. Ini sebuah warning yang luar biasa bagi partai-partai dan kita semua, karena tidak ada demokrasi jika oligarki demikian kuatnya,” kata Firman, dalam diskusi Persiapan Partai Politik Menjelang Pemilu 2024, yang diselenggarakan Pusris Politik BRIN, Kamis (25/8).
Modal Tidak Selalu Uang
Anggota DPR RI dari PDIP, Diah Pitaloka, menolak menghubungkan pemilu dengan uang. Menurutnya, modal utama seseorang untuk maju baik dalam kontestasi kepala daerah maupun ke parlemen adalah dukungan politik.
“Karena gini, modal itu kan tidak harus selalu uang. Modal dasar politik itu kan sebetulnya dukungan politik kalau untuk maju. Sejauh dukungannya kuat, saya jujur nggak pernah memikirkan antara fenomena pemilu berhadapan dengan fenomena kebutuhan uang,” ujarnya dalam diskusi yang sama.
Meski begitu, uang memang dibutuhkan dalam masa kampanye, tetapi besarannya sangat ditentukan oleh strategi kampanye itu sendiri. Diah mengatakan bahwa tidak semua politisi merasa perlu memasang iklan luar ruang atau membuat puluhan ribu spanduk untuk disebar di daerah pemilihan.
“Menurut saya, itu akan mengalir saja, mau maju enggak tahu kebutuhan kita akan ditutup siapa. Ada yang ngasih stiker misalnya. Nanti ada yang bantu nyetakin spanduk misalnya. Kalau dukungannya baik, otomatis kan logistiknya juga akan didukung,” ujarnya beralasan.
Uang Tetap Penting
Anggota DPR RI yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Nurul Arifin, secara terbuka mengakui, meski bukan segalanya, uang tetap memiliki peranan penting dalam karir politik seseorang.
“Kalau Anda tidak punya uang, bagaimana Anda bisa melakukan strategi, membangun jaringan dan seterusnya. Jaringan kita punya, tapi tidak ada uang untuk mengongkosi, itu pun tidak mungkin,” kata Nurul.
BACA JUGA: Partai Baru Harus Bekerja Keras untuk Raih Simpati Publik“Jadi semuanya harus rasional, harus realistis. Uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang tidak mungkin juga itu bisa terjadi,” tegasnya.
Dia mencontohkan dirinya sendiri, sebagai mantan artis film yang relatif cukup populer di masyarakat.
“Saya populer, setiap orang ketemu saya mau difoto. Apakah jadi suara? Tidak. Oleh karena itulah, populer juga bukan segalanya. Karena strategi kita, juga menentukan perjuangan kita dan pemenangan kita,” tambahnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Nurul mengamini jika muncul pendapat bahwa sistem terbuka seperti saat ini, di mana setiap kandidat bertarung bebas bahkan dalam satu partai sekalipun, telah melahirkan kehadiran para cukong politik. Pilihannya, kata dia, adalah kembali ke sistem tertutup. Nurul juga menyarankan penerapan skema fix seat, dimana sejumlah kursi memang diperuntukkan secara khusus bagi pengurus utama partai yang menjaga ideologi mereka.
“Saya termasuk yang dulu memperjuangkan mix member proporsional. Supaya ada orang yang menjaga ideologi partai, diberikan fix seat. Karena mereka seringkali tidak punya waktu untuk ke lapangan, tidak punya dana. Tapi kita harus menghargai, karena kalau free fight, pondasinya itu adalah finansial,” kata dia memberi alasan.
Mencegah Dari Dalam
Juru bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pipin Sopian menyebut upaya menekan peran cukong dilakukan partai ini sejak penyiapan kader-kader. Mereka yang akan maju harus melewati seleksi dari struktur paling bahwa, dan memastikan bahwa prosesnya berintegritas.
“Kami lakukan dengan membuat parameter-parameter, sehingga tidak ada yang namanya caleg punya modal besar, didukung oleh oligarki, kemudian dia harus nomor urut 1. Jadi kami ada sistem yang sudah mapan, yang seleksinya luar biasa, dan tidak ada money politik di internal partai,” terang Pipin.
Konsep itu diterapkan, kata Pipin, karena PKS sadar tidak memiliki cukup kekuatan uang untuk bertarung dalam pemilu atau pilkada.
“Kami punya namanya tabungan Pemilu. Jadi dalam menghadapi pemilu nanti, sudah menyiapkan tabungan,” tambahnya.
BACA JUGA: Seleksi Bawaslu: 7 Provinsi Tidak Ada Wakil PerempuanDengan memastikan kader PKS tidak membuang banyak uang selama proses, partai ini berharap calon yang terpilih tidak memiliki keberpihakan pada cukong.
Sementara juru bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, mengatakan partainya mendorong para kadernya untuk tidak memaksakan diri. Jika potensi yang ada hanya cukup untuk mencalonkan diri di tingkat kabupaten atau kota, kader akan didorong untuk bertarung di wilayah terendah tersebut. Begitu pula jika berpotensi terpilih ke Senayan, tentu rekomendasinya akan berbeda.
“Dan kalau bicara mengenai angka, tidak ada modal harus segini minimal. Enggak ada pakemnya, kalau di kami enggak. Siapapun itu, pada saat penentuan caleg, yang dilihat adalah jejak rekam, kapabilitas, kapasitas, kemudian seperti apa di daerah, dan kita lakukan survei,” ujar Herzaky.
Dalam penentuan nomor caleg misalnya, Partai Demokrat mengklaim melakukannya berdasar indikator potensi keterpilihan seseorang.
“Jadi semua berbasis data, jadi nggak ada yang ujug-ujug,” tambahnya. [ns/rs]