Perusahaan jasa keuangan Amerika Serikat (AS) Morgan Stanley mengatakan Inggris dan negara-negara Eropa lainnya kemungkinan akan menghadapi resesi pada tahun depan. Namun, Washington diperkirakan bisa berkelit dari kondisi tersebut berkat pasar kerja yang tangguh.
Pada saat yang sama, China, yang mulai melonggarkan kembali pembatasan terkait COVID-19 setelah hampir tiga tahun mengimplementasikannya, diperkirakan dapat memimpin pemulihan kondisi ekonominya sendiri dan pasar berkembang di Asia lainnya, kata sejumlah analis bank investasi dalam serangkaian laporan yang diterbitkan pada Minggu (13/11).
"Risiko mengarah ke bawah," kata laporan itu, memproyeksikan ekonomi global tumbuh 2,2 persen pada tahun depan, lebih rendah dari perkiraan pertumbuhan terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang memproyeksikan sebesar 2,7 persen.
BACA JUGA: Permohonan Tunjangan Pengangguran AS Turun Sedikit
Tahun depan, Morgan Stanley memperkirakan terjadinya perpecahan tajam antara negara ekonomi maju yang akan terbagi ke dalam kategori "dalam atau mendekati resesi." Sementara negara berkembang akan "pulih sedikit". Namun, kenaikan global secara keseluruhan kemungkinan tetap akan sulit dicapai. Perekonomian China diprediksi tumbuh 5 persen pada 2023, melampaui rata-rata pertumbuhan 3,7 persen yang diharapkan untuk pasar negara berkembang, sementara pertumbuhan rata-rata negara maju Kelompok 10 diperkirakan hanya berkisar 0,3 persen.
Bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga pada tahun ini untuk mengekang meroketnya laju inflasi. Di AS, Morgan Stanley memperkirakan Federal Reserve akan mempertahankan suku bunga tinggi pada 2023 karena inflasi tetap kuat setelah memuncak pada kuartal keempat tahun ini.
BACA JUGA: Bank Dunia: Nilai Mata Uang Menyusut, Harga Pangan dan BBM Naik
"Ekonomi AS dapat berkelit dari resesi pada 2023, tetapi kesuksesan tersebut tidak terasa begitu lembut karena pertumbuhan pekerjaan melambat secara signifikan dan tingkat pengangguran terus meningkat," kata laporan itu.
"Efek kumulatif dari kebijakan ketat pada 2023 meluas ke 2024, menghasilkan dua tahun yang sangat lemah," tambah laporan itu.
Di dunia, puncak inflasi akan terjadi pada kuartal saat ini, kata para analis, "dengan disinflasi yang mendorong narasi tahun depan." [ah/rs]