Meski Haram, MUI Bolehkan Vaksin MR, Orang Tua Tidak Terima

MUI membolehkan penggunaan Vaksin MR meskipun dinyatakan haram. (Foto: ilustrasi)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang membolehkan penggunaan Vaksin MR (Measles-Rubella) meskipun mengandung babi, menjadi perbincangan publik, khususnya di kalangan orang tua.

Lewat Fatwa Nomor 33 tahun 2018, MUI sebenarnya menegaskan bahwa Vaksin MR produksi Serum Institute of India (SII) yang digunakan untuk imunisasi di Indonesia, “haram karena mengandung babi”.

MUI membolehkan penggunaan Vaksin MR karena sejumlah kondisi.

Namun, karena beberapa alasan MUI membolehkan penggunaannya.

“Ada kondisi keterpaksaan. (Selain itu) belum ditemukan Vaksin MR yang halal dan suci. Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi, dan belum adanya vaksin yang halal.” tulis MUI dalam rilisnya yang ditandatangani Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin, Senin, (20/08).

Vaksin MR buatan SII disebut mengandung babi.

Meskipun begitu, Chaerul Mufti, seorang ayah di Payakumbuh, Sumatera Barat, tetap “tidak membolehkan” anak lelakinya yang berusia enam tahun untuk divaksin MR.

“Saya tahu (vaksin) dibutuhkan, tetapi ada rasa tidak menerima, kalau anak saya disuntik pakai zat yang ada babinya,” kata Chaerul kepada VOA Indonesia lewat sambungan telepon.

Dia pun bercerita bahwa sikapnya itu sejalan dengan sekolah swasta Islam tempat anaknya baru menempuh pendidikan. “Sekolah menolaknya.”

Vaksin MR menjadi kontroversi di masyarakat.

​Pembicaraan soal halal-haram Vaksin MR ramai mencuat sejak pemerintah Indonesia memulai program imunisasi Vaksin MR secara serentak, pada 1 Agustus hingga akhir September 2018.

Imunisasi ditujukan pada bayi berusia sembilan bulan sampai anak berusia 15 tahun. Targetnya adalah sekitar 32 juta anak di 28 provinsi.

“Kembalikan saja pada niat orang tua. Penyakit kan datang dari Tuhan. Toh zaman dulu saya tidak divaksin, dan sampai sekarang tidak apa-apa,” lanjut Chaerul.

Gambar penyakit campak.

Berbeda dengan Chaerul, Andri Pratama yang tinggal di Jakarta, berniat memvaksin lengkap dua orang anaknya, termasuk dengan Vaksin MR.

“Kan terbukti anak butuh. Kalau secara medis bagus dan dibutuhkan, ditambah lagi dengan pernyataan MUI yang membolehkan, ya saya tetap imunisasi,” tutur Andri kepada VOA Indonesia.

Pusat Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC), lewat situs resminya menuliskan bahwa Measles atau Campak jika tidak ditangani bisa menimbulkan komplikasi seperti infeksi paru-paru (Pneumonia) atau pembengkakan otak (Encephalitis).

“Dari setiap 1.000 anak yang kena campak, satu atau dua di antaranya meninggal dunia,” tulis CDC.

Gambar penyakit Rubella atau Campak Jerman.

Sementara CDC menjabarkan bahwa Rubella atau Campak Jerman yang menginfeksi perempuan hamil yang tidak divaksin, “berpotensi membuatnya keguguran atau bayinya meninggal dunia setelah dilahirkan.”

Rubella juga mengakibatkan buta dan tuli.

Dinilai Tidak Tegas?

Fatwa haram tapi boleh MUI ini diikuti sejumlah rekomendasi. Di antaranya adalah permintaan agar pemerintah “wajib menjamin ketersediaan vaksin halal” bagi masyarakat.

Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Kesehatan belum memberikan tanggapan.

Namun, lewat akun Twitter resminya, @KemenkesRI, kementerian yang dikepalai oleh Nila F Moelek itu pada Selasa (21/08) mencuitkan bahwa “Imunisasi adalah investasi bangsa. Lindungi buah hati dari penyakit Measles Rubella dengan imunisasi MR. Pemberian imunisasi MR adalah upaya melindungi generasi selanjutnya.”

Di media sosial, Fatwa MUI terkait Vaksin MR ini juga ramai dibicarakan. Pro-kontra saling bersahutan.

Muhammad Nasir lewat akun Twitter-nya @NasirHagu menuding “MUI masuk angin. Kalau haram ya haram…”

Sementara Prasdianto lewat akunnya @kamentrader mengkritik Fatwa MUI yang dinilainya tidak tegas.

“Ibu-ibu hamil yang dapat keringanan tidak puasa aja, masih banyak yang sok-sok kuat (puasa) atau merasa sholeh kalau pas hamil tetap puasa. Apalagi ada pernyataan kayak gini, yakin gw pada adu sholeh gak pakai vaksin,” cuit Prasdianto.

Tulisannya di Twitter ini telah dicuit ulang lebih dari 60 kali.

Ada juga yang beranggapan kalau Vaksin MR ini tidak memerlukan Fatwa MUI. Misalnya akun Twitter @Dearnoto.

“Ini ushul fiqih tingkat dasar. Kalau kondisi darurat jangankan buat vaksin, makan babi juga dima“fu dimaafkan atas hukum asalnya. Saya kira betul mereka menggoreng vaksin babi ini karena tak suka pemerintah,” tulisnya.

Sementara Asti Astari mengaku deg-degan karena Fatwa MUI yang mengharamkan tetapi membolehkan Vaksin MR, akan membuatnya berdebat dengan mertua. “Siapin mental dan telinga,” katanya.

Bukan yang Pertama

Fatwa haram MUI terkait vaksin yang mengandung babi, sudah pernah terjadi sebelumnya.

Pada tahun 2006, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram atas Vaksin Meningitis karena mengandung enzim babi.

“Kalau prosesnya itu berinteraksi dengan yang haram, maka hasil akhirnya juga haram,” kata Ketua MUI saat itu, Amidhan.

Arab Saudi mewajibkan Vaksin Meningitis bagi yang ingin berhaji atau umroh.

Padahal kala itu pemerintah Arab Saudi mewajibkan Vaksin Meningitis setelah penyakit itu mewabah pada Jemaah Haji tahun 2000. Setidaknya 64 orang meninggal dunia karenanya.

Fatwa Haram MUI itu ditujukan pada vaksin buatan Glaxo Smith Kline, sebuah perusahaan farmasi asal Belgia.

Pemerintah pun sempat merugi hingga Rp20 miliar karena vaksin yang telah dibeli tidak bisa dikembalikan.

Sebuah sekolah yang sedang melakukan imunisasi.

Meskipun begitu MUI mengeluarkan fatwa halal pada dua produk vaksin meningitis lainnya, yaitu vaksin produksi Novartis asal Italia dan Tian Yuan asal China.

Pada 2016, MUI terkesan lebih rileks terkait vaksin.

Lewat Fatwa MUI Nomor 4 tahun 2016 tentang Imunisasi, MUI menuliskan “vaksin imunisasi yang berbahan haram, hukumnya haram. Imunisasi dengan vaksin haram tidak dibolehkan, kecuali: digunakan pada kondisi darurat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal, serta adanya keterangan tenaga medis kompeten bahwa tidak ada vaksin yang halal.” [rh]