Muslim AS Ikut Mengutuk Aksi Rasisme

  • Associated Press

Para pengunjuk rasa berteriak "Black Lives Matter" di depan Lafayette Park di sebelah Gedung Putih, Washington, DC pada 5 Juni 2020. (Foto: AFP)

Gelombang unjuk rasa di seantero Amerika Serikat untuk menuntut keadilan atas kematian warga kulit hitam, George Floyd, di tangan polisi, mendapat dukungan dari sejumlah masyarakat Muslim Amerika. Pasalnya, kasus yang diduga dilatari unsur rasisme dan diskriminasi terhadap warga kulit hitam di Amerika ini, dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam yang juga menentang rasisme.

Kasus meninggalnya seorang warga kulit hitam Amerika bernama George Floyd di tangan polisi di kota Minneapolis, negara bagian Minnesota, 25 Mei lalu, memicu gelombang unjuk rasa berhari-hari di puluhan kota di seantero Amerika Serikat. Para pengunjuk rasa menuntut keadilan atas kematian Floyd, sekaligus menuntut dilakukannya reformasi di tubuh kepolisian Amerika yang dianggap kerap bersikap diskriminatif terhadap warga Amerika keturunan Afrika.

Perwakilan AS Ilhan Omar terlihat sebelum upacara peringatan George Floyd setelah kematiannya di tahanan polisi Minneapolis, di Minneapolis, AS, 4 Juni 2020. (Foto: Reuters / Nicholas Pfosi)

Dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press, Dr. Farhan Bhatti dari Islamic Center of East Lansing di negara bagian Michigan mengapresiasi langkah masyarakat yang turun ke jalan untuk menyuarakan kegeraman mereka atas kasus rasisme tersebut. Ia mengatakan bahwa di dalam Islam sendiri, rasisme adalah hal yang dilarang.

“Perspektif Islam terkait apa yang sedang terjadi saat ini sangat sederhana: tidak ada ruang bagi rasisme di dalam Islam. Rasulullah SAW mengajarkan kita bahwa apabila kita melihat suatu ketidakadilan, maka cobalah mengubahnya dengan mulutmu, yang berarti cobalah bersuara menentang ketidakadilan tersebut," kata Farhan Bhatti.

Setali tiga uang, legenda basket NBA, Kareem Abdul-Jabbar, juga memiliki pendapat yang sama. Dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press, pebasket Muslim yang pernah memperkuat klub LA Lakers itu mengajak warga Amerika untuk bersatu dalam menghadapi rasisme. Ia juga mendorong masyarakat untuk menjalin pertemanan dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda.

Presiden AS Barack Obama menghadiahkan bintang NBA Kareem Abdul-Jabbar Presidential Medal of Freedom, kehormatan sipil tertinggi, di Gedung Putih di Washington, DC, 22 November 2016. (Foto: AFP)

“Saya rasa ini adalah momen di mana orang-orang seharusnya sadar. Saya harap mereka menyadari betapa parahnya rasisme yang melembaga ini dan menyadari bahwa ini adalah masalah yang harus diperbaiki saat ini juga, dan kita harus mulai mendiskusikannya sekarang. Ini masalah yang darurat, bukan sesuatu yang bisa kita tunda-tunda," kata Kareem Abdul-Jabbar.

“Satu hal yang bisa kita lakukan yaitu menjalin pertemanan dengan orang-orang yang kelihatan berbeda dari kita sendiri. Kita harus paham seperti apa kehidupan mereka, kehidupan orang-orang yang jarang kita ketahui kesehariannya. Kita harus mengenali masyarakat kita sendiri. Siapa saja teman sesama warga Amerika ini? Mereka pasti punya ukuran, bentuk, warna kulit, juga keyakinan agama yang berbeda-beda. Meski demikian, mereka semua meyakini satu hal yang sama, yaitu negara indah yang kita sebut Amerika Serikat," lanjutnya.

Meski demikian, Doktor Farhan Bhatti dari Islamic Center of East Lansing, menyayangkan kerusuhan yang terjadi menyusul unjuk rasa damai yang dilakukan massa.

BACA JUGA: Bersimpati pada Kasus Floyd di AS, Ribuan Berdemonstrasi di London

“Di sini, di kota Lansing, beberapa malam yang lalu, kaca sejumlah pertokoan hancur berantakan. Hal itu bukan hanya sepenuhnya bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi juga kontra-produktif terhadap unjuk rasa yang dilakukan, yang mencoba untuk menegakkan hak-hak kaum minoritas di negara ini," kata Farhan Bhatti.

Sentimen itu juga diungkapkan Kareem Abdul-Jabbar, mantan pebasket NBA yang kini memeluk agama Islam. Akan tetapi, ia juga memahami frustasi yang dirasakan massa hingga akhirnya terpancing melakukan aksi kekerasan, pasalnya berbagai demonstrasi damai yang dilakukan sebelumnya, dianggapnya tidak ampuh memunculkan kesadaran masyarakat akan gentingnya masalah rasisme di tengah mereka.

Kareem pun memberi contoh kasus seorang mantan atlet American football NFL, Colin Kaepernick. Ia kehilangan pekerjaannya sebagai seorang atlet, setelah melakukan aksi damai dengan berlutut saat lagu nasional Amerika dinyanyikan di sebuah pertandingan tahun 2016 lalu, sebagai bentuk solidaritasnya terhadap gerakan #BlackLivesMatter, alias Nyawa Warga Kulit Hitam Itu Penting.

BACA JUGA: Kekerasan Polisi terhadap Warga Kulit Hitam Picu Kerusuhan di Minneapolis

“Ada banyak orang mengatakan tentang betapa parahnya kerusuhan dan penjarahan yang terjadi. Itu memang bukan cara berunjuk rasa yang baik, tapi orang-orang perlu memikirkan juga fakta bahwa Colin Kaepernick (pernah) mencoba melakukan protes secara damai. Tapi apa yang ia dapat? Ia justru dikucilkan dan kehilangan pekerjaannya. Ia ditolak bergabung dengan timnya. Itu akibat aksi protes damai terkait sebuah isu yang sangat nyata, dan tidak ada satupun yang mengakuinya," kata Kareem.

Kasus meninggalnya warga kulit hitam Amerika, George Floyd, di tangan polisi sendiri masih terus diselidiki. Polisi yang menekan leher Floyd hingga dirinya kesulitan bernapas ketika sedang diamankan aparat, telah dijerat pasal pembunuhan dan penghilangan nyawa seseorang akibat kelalaian. Tetapi ketiga rekannya tidak dijerat hukum, meskipun juga telah dipecat.

Negara bagian Minnesota pertengahan minggu ini mengajukan gugatan hukum hak asasi manusia terhadap Departemen Kepolisian atas kebijakan dan praktik diskriminatif sistemik yang dinilai telah terjadi selama bertahun-tahun. [rd]