Musuh, Sekutu Bereaksi terhadap Kekacauan di Washington

Massa pendukung Presiden Donald Trump merusak barikade dalam unjuk rasa untuk memprotes sertifikasi hasil pemilihan presiden 2020 oleh Kongres AS di Gedung Capitol, Washington, D.C, Rabu, 6 Januari 2021.

Sejenak, Dunia melupakan pandemi virus corona.

Saluran berita di seluruh dunia beralih dari pelaporan tentang rumah sakit yang kewalahan atau peluncuran vaksin dan penerapan karantina wilayah menjadi fokus kepada Amerika Serikat dan penyerbuan gedung Kongres oleh ratusan pengunjuk rasa.

Musuh-musuh dan sekutu-sekutu Amerika sama-sama menarik pelajaran yang berbeda dari kekacauan itu, yang terjadi tidak lama setelah Presiden Donald Trump mendesak para pendukungnya “merebut kembali negara kita.” Ajakan itu gagal, dan Joe Biden dikukuhkan sebagai presiden terpilih oleh Kongres pada Kamis (7/1) pagi.

Negara-negara sekutu terkejut dengan gambar-gambar yang disiarkan dari Washington, sementara musuh bergembira.

Beberapa pemerintah melihat kekacauan itu sebagai upaya serius pada menit-menit terakhir oleh para pendukung Trump untuk membatalkan pemilihan. Yang lain, ketika melihat kekacauan itu sebagai bencana dan kekecewaan, menyatakan keyakinan akan keberkelanjutan pada ketahanan demokrasi Amerika.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengutuk apa yang dia gambarkan sebagai “pemandangan yang sangat menyedihkan” tetapi mengatakan dia menantikan pengalihan kekuasaan secara damai kepada presiden AS yang baru terpilih, menyebutnya di Twitter sebagai “tradisi demokrasi Amerika yang hebat.”

Dalam sebuah video yang diposting di Twitter, Presiden Perancis Emmanuel Macron, yang telah mengalami protes jalanan dalam setahun terakhir, menggambarkan serangan terhadap Kongres itu sebagai “bukan Amerika,” dan menambahkan dia memiliki “keyakinan pada kekuatan demokrasi di Amerika Serikat.”

Para pemimpin Uni Eropa juga menekankan bahwa mereka tidak memiliki keraguan tentang kemajuan demokrasi Amerika.

Musuh memanfaatkan kekacauan itu untuk mencoba mencetak poin geopolitik. Venezuela, yang telah diberi sanksi oleh AS dan negara-negara Eropa karena pelanggaran hak asasi manusia, mengatakan AS “menderita apa yang telah ditimbulkannya di negara lain dengan politik agresinya.”

Kementerian Luar Negeri China dengan cepat mengecap agitator pro-Trump sebagai “preman, ekstremis, dan penjahat,” tetapi menyamakan mereka dengan aktivis pro-demokrasi di Hong Kong, yang telah memprotes tindakan keras terhadap kebebasan berbicara dan perbedaan pendapat serta perusakan demokrasi.

Presiden Iran mengatakan penyerbuan di Capitol itu sebagai contoh kelemahan demokrasi Barat. Berbicara pada Kamis (7/1), Presiden Hassan Rouhani mengatakan, “Apa yang kita lihat di Amerika Serikat itu menunjukkan di atas segalanya betapa rapuhnya dan rentannya demokrasi Barat.”

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, menurut juru bicaranya, Stephane Dujarric, mengatakan dia “sedih” dengan pelanggaran di Capitol. [lt/pp]