Myanmar Bersiap-Siap Menjelang Pemilu November

Warga beristirahat di dekat poster kampanye partai NLD di Yangoon, 15 September 2020.

Partai Liga Nasional bagi Demokrasi (NLD) yang berkuasa di Myanmar sudah hampir pasti akan mendominasi dalam pemilu 8 November di negara itu, tetapi dapat kehilangan mayoritas yang dimiliki dan diperlukannya di parlemen untuk tetap memerintah sendiri setelah masa jabatan yang penuh tekanan, kata para analis.

Pemberontakan baru dan lama, dicabutnya hak-hak warga Rohingya dan pembatasan perjalanan yang diberlakukan untuk mengendalikan penyebaran virus corona juga menimbulkan kekhawatiran mengenai kredibilitas pemilu itu.

Kampanye untuk memperebutkan 1.171 kursi di parlemen bikameral nasional, Majelis Persatuan atau Pyidaungsu Hluttaw, serta parlemen di negara bagian dan regional, berlangsung pekan lalu.

Ikon prodemokrasi Aung San Suu Kyi memimpin NLD meraih kemenangan besar bersejarah pada tahun 2015, menyingkirkan Partai Pembangunan Solidaritas Bersatu dukungan militer, yang mengawali transisi Myanmar dari kediktatoran brutal selama puluhan tahun menjadi seolah-olah pemerintahan sipil setelah menang dalam pemilu yang diperselisihkan lima tahun sebelumnya.

Aung San Suu Kyi (Foto: Kantor Penasihat Negara Myanmar, 14 September 2020)


Meskipun dilarang menjabat presiden berdasarkan konstitusi yang disusun militer, Suu Kyi praktis memimpin sebagian besar pemerintah dengan memilih sendiri sekutu-sekutu untuk berbagai jabatan. Piagam itu juga memberi militer kebebasan penuh atas tiga kementerian penting: Urusan Perbatasan, Dalam Negeri dan Pertahanan, dan seperempat kursi di parlemen, cukup banyak untuk memveto suatu amendemen konstitusi.

Di dunia internasional, Suu Kyi, pemenang Hadiah Nobel, telah kehilangan banyak kemasyhurannya sebagai tokoh demokrasi karena meremehkan dugaan militer membantai etnis minoritas Muslim Rohingya pada akhir 2017; sekitar 700 ribu di antaranya melarikan diri dari negara bagian Rakhine ke negara tetangga Bangladesh untuk menghindari kampanye pembakaran, pemerkosaan dan pembunuhan yang didokumentasikan dengan baik.

Namun di dalam negeri, ia dan partainya tetap populer di kalangan rakyat yang mayoritasnya penganut Buddha dan etnis Bamar, yang masih menganggap mereka sebagai harapan terbaik untuk mendesak militer yang dicerca luas di negara itu agar keluar dari politik untuk selama-lamanya, kata Khin Zaw Win, direktur the Tampadipa Institute, sebuah lembaga penelitian Myanmar. [uh/ab]