Kepala Menteri negara bagian Rakhine, Maung Maung Ohn memberitahu VOA hari Kamis (5/2) bahwa sejak program itu dimulai tahun lalu, baru 40 Muslim yang diberikan kewarganegaraan dan lebih dari 200 orang diberikan kewarganegaraan sementara karena hanya mereka yang mengidentifikasi diri sebagai Bengali yang diterima.
Sebagian besar Muslim di negara bagian itu menyebut diri mereka Rohingya, istilah yang ditolak pemerintah, yang menganggap Rohingya sebagai pendatang gelap dari Bangladesh dan menyebut mereka sebagai “Bengali.” Para pejabat telah mengatakan proses verifikasi dilakukan berdasarkan UU tahun 1982 yang melarang pendaftaran kewarganegaraan yang menggunakan istilah Rohingnya dan bukannya Bengali.
Selama beberapa tahun, berbagai kelompok HAM telah mengecam kebijakan pemerintah yang menolak kewarganegaraan bagi warga Rohingya dan membatasi gerak mereka.
Kekerasan antara warga mayoritas Budha dan minoritas Muslim di Myanmar telah menewaskan lebih dari 240 orang dan memaksa sekitar 140.000 orang meninggalkan rumah sejak tahun 2012. Sebagian besar warga yang tewas dan kehilangan tempat tinggal adalah warga Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Pemerintah Myanmar telah menghentikan proyek perdana untuk memverifikasi status kewarganegaraan minoritas Muslim di negara bagian Rakhine.