Pemerintah Myanmar yang dikuasai militer dan lawan-lawannya, Selasa (19/7), memperingati 75 tahun pembunuhan pahlawan kemerdekaan Jenderal Aung San, ayah pemimpin terguling negara itu, Aung San Suu Kyi.
Unjuk rasa prodemokrasi diadakan pada Selasa (19/7) di beberapa kota di berbagai penjuru negara itu untuk memperingati Aung San, enam rekannya di kabinet dan dua pejabat lainnya yang terbunuh 75 tahun lalu pada rapat kabinet kurang dari enam bulan sebelum negara tersebut -- yang saat itu disebut Burma -- meraih kemerdekaannya dari pemerintah kolonial Inggris.
Aung San berusia 32 tahun ketika ia ditembak mati oleh sekelompok pria bersenjata berseragam di kantornya di Yangon, kota terbesar di negara itu. Saingan politiknya, mantan Perdana Menteri U Saw, diadili dan dihukum gantung karena merencanakan pembunuhan politik ini.
Protes pada Selasa umumnya dibubarkan dalam waktu singkat untuk menghindari konfrontasi dengan pasukan keamanan, juga memberikan penghormatan kepada mereka yang tewas sewaktu memprotes pengambilalihan kekuasaan oleh militer pada Februari tahun lalu yang menggulingkan Suu Kyi dan pemerintah terpilihnya.
Di Yangon, suara sirene terdengar meraung dan klakson-klakson mobil berbunyi selama satu menit pada pukul 10:37 pagi, waktu serangan tahun 1947.
Sejumlah foto dan video di media sosial menunjukkan para pengunjuk rasa membawa spanduk-spanduk dan meneriakkan “Berantas rasisme, ada lebih dari sembilan Martir'' di Yangon.
BACA JUGA: Suu Kyi Bersaksi dalam Sidang Penipuan PemiluHingga Senin, 2.091 warga sipil termasuk penyair, aktivis, politisi, dan lainnya tewas akibat tindakan pasukan keamanan sejak Februari 2021, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Upacara peringatan resmi diadakan setiap tahun di Mausoleum Martir di Yangon, dekat Pagoda Shwedagon yang terkenal.
Gedung kantor sekretariat bersejarah tempat serangan itu terjadi dan Museum Bogyoke Aung San, kediaman terakhir Aung San dan keluarganya sebelum pembunuhannya, dibuka kembali untuk umum di bawah protokol keamanan yang ketat. Kedua tempat bersejarah itu ditutup selama dua tahun terakhir karena pandemi COVID-19. [ab/uh]