Myanmar, Salah Satu Negara Terburuk Soal Perdagangan Manusia

  • Cindy Saine

Soerang pria Muslim Rohingya melihat keluar dari tendanya di kamp pengungsi Balukhali, sekitar 50 km dari Cox's Bazar, Bangladesh, 14 Januari 2018.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan, Myanmar kini bergabung dengan China, Rusia, Sudan Selatan, Suriah, Iran, Korea Utara, Venezuela dan sejumlah negara lainnya dalam kelompok terburuk di dunia dalam hal perdagangan manusia dan kerja paksa.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo didampingi oleh penasihat presiden, Ivanka Trump, merilis laporan tahunan “Perdagangan Manusia” yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri. Ia menyampaikan berita buruk mengenai Myanmar yang sebelumnya dikenal sebagai Birma.

“Di Asia Tenggara, angkatan bersenjata Myanmar dan pihak-pihak lainnya di negara bagian Rakhine telah membuat ratusan ribu orang Rohingya dan anggota kelompok-kelompok etnis minoritas lainnya mengungsi.Sebagai akibatnya, banyak di antara mereka tereksploitasi,” kata Mike Pompeo.

“Sejumlah pihak di kemiliteran Myanmar juga merekrut anak-anak untuk dijadikan tentara, dan memberlakukan kerja paksa bagi orang-orang dewasa dan anak-anak dari kelompok-kelompok etnis minoritas.”

Keputusan Amerika untuk menempatkan Myanmar di lapis ketiga atau peringkat paling bawah ini membawa konsekuensi buruk. Myanmar bisa dikenai sanksi pembatasan akses bantuan dari Amerika dan internasional.

Sebelumnya, Amerika menempatkan Myanmar di lapis kedua dan masuk dalam daftar pantauan selama empat tahun. Sebuah negara dimasukkan ke dalam lapis ketiga bila dianggap tidak memenuhi standar minimum, atau tidak memiliki upaya signifikan, dalam memberantas perdagangan manusia.

Pompeo juga mengecam Libya, Korea Utara dan Iran yang masuk dalam kelompok terburuk dalam perdagangan manusia. Pompeo mengatakan, Iran justru menghukum korban-korban perdagangan manusia, bukan pelakunya.

Dalam acara perilisan laporan tahunan itu, Departemen Luar Negeri AS juga memberikan penghormatan terhadap 10 orang yang dianggap pahlawan yang mendedikasikan hidup mereka untuk mengakhiri perdagangan manusia meski sering dengan mempertaruhkan nyawa mereka.

Francisca Awah Mbuli dari Kamerun adalah salah seorang penerima penghargaan itu. Ia sendiri adalah korban perbudakan moderen.
“Ketika saya tiba di sebuah negara yang termasuk dalam blok dagang Dewan Kerja Sama Teluk, tidak ada pekerjaan mengajar Bahasa Inggris seperti yang dijanjikan. Saya dijerumuskan ke dalam perbudakan sebagai pembantu rumah tangga.,” ujar Mbuli.

“Saya tidak digaji dan malah mendapat perlakuan tidak manusiawi dan pelecehan seksual. Ketika saya bilang, saya mau pulang, mereka bilang saya berhutang $3.000. Saya harus membayarnya dan juga membayar ongkos penerbangan pulang. Ini kebohongan,kata Mbuli menceritakan kembali pengalamannya.

Di Kamerun, Mbuli kini memimpin program-program pemberdayaan perempuan korban perdagangan manusia.

Kim Jong-Chul, seorang lain yang mendapat penghargaan serupa, mengatakan, siapa pun bisa terlibat dalam upaya memerangi perdagangan manusia dengan menjadi konsumen yang sadar diri.

“Dalam banyak kasus, saya mendapati sejumlah perusahaan terlibat dalam perdagangan manusia dalam jaringan suplai mereka. Kita bisa menekan perusahaan itu dengan mengatakan ‘saya tidak ingin membeli produk-produk mereka yang ternoda,’” kata Kim.

Kim Jong-chul diberi penghargaan tersebut karena mengungkap kondisi kerja paksa di Korea Selatan dan dunia, khususnya terkait nelayan migran. [ab/lt]