Anggota Komisi X Putra Nababan meminta cetak biru atas rencana Nadiem mengganti Ujian Nasional menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (AKM-SK). Putra meminta kajian mendalam karena penggantian UN akan berimplikasi luas.
“Tolong segera serahkan kajian dan juga cetak birunya,” ujar Putra dalam gelar wicara di Jakarta, Sabtu (14/12) siang.
Politikus PDI Perjuangan ini menekankan, cetak biru penting sebagai koridor sistem pendidikan. Jangan sampai sistem terus berganti ketika menterinya ganti.
“Sehingga kami sebagai wakil rakyat betul-betul bisa mengkaji, melihat, dan bisa memutuskan bersama nasib pendidikan Indonesia ini pada 2-3-5-10 tahun ke depan itu seperti apa,” papar Putra yang memiliki dua anak yang akan menjalani UN pada 2020.
BACA JUGA: Nadiem Makarim: UN Dihapus Tidak Bikin Siswa LembekSecara prinsip, ujar Putra, DPR terus mendukung pembaruan dalam sistem pendidikan. Namun, penting melihat secara detail desain yang ditawarkan.
“The devil is on the detail. Detailnya ini yang kita perlu tahu. Jangan sampai ketika nanti sudah jadi keputusan Kemendikbud atau peraturan menteri, ada masalah. Lalu kita membuat bingung masyarakat, itu yang kami hindari,” tambah Putra yang pernah berkarir sebagai jurnalis.
Nadiem sudah dimintai penjelasan dan dicecar banyak pertanyaan oleh Komisi X, Kamis (12/12/2019). Para legislator meminta kajian segera dikeluarkan sebelum implementasi format baru itu yang direncanakan pada 2021.
Kemendikbud Klaim Kajian Tengah Berjalan
Kepala Biro Komunikasi Kemendikbud, Ade Erlangga Mardiana, mengatakan kajian sudah dilakukan oleh tim khusus Kemendikbud.
“Jadi ketika pak menteri (Nadiem) diangkat jadi menteri, (tim) terus maraton melakukan kajian-kajian, melibatkan berbagai macam stakeholders termasuk PGRI, asosiasi guru yang lain, para pengambil kebijakan,” jelas Erlangga dalam kesempatan yang sama.
Dia mengatakan, kajian itu bahkan sudah melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan sejumlah pihak yang berkepentingan. Namun ketika ditanya sudah berapa lama kajian dilakukan, dia tidak menjawab.
Mendikbud Nadiem melontarkan perubahan UN yang dianggap menitikberatkan pada hafalan. Nadiem pun menggadang Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (AKM-SK).
Dalam format baru ini, para siswa diuji berdasar dua kemampuan yakni literasi dan numerasi, dan tidak berdasar mata pelajaran. Kedua kemampuan ini berkaitan dengan penalaran dan analisa masalah, seperti dijelaskan Erlangga.
“Di mana mereka kita lihat kemampuan penalaran dan analisis terhadap situasi yang ada di sekitarnya,” jelas dia.
Format Baru Diharap Perbaiki Skor PISA
Perubahan format ini juga diharap mampu memperbaiki skor Indonesia dalam skor Programme for International Student Assessment (PISA).
PISA menguji kinerja siswa sekolah menengah dalam komponen literasi, matematika, dan sains. Dalam hasil PISA terbaru tahun 2018, nilai masing-masing komponen Indonesia berada pada 10 terburuk dari 79 negara.
“Walaupun secara metodologis soal PISA itu bisa kita perdebatkan, itu menjadi bahan evaluasi bagi kita ke depannya, bahwa banyak hal dalam proses belajar mengajar kita itu tidak—atau kurang—mengembangkan proses penalaran, yang lebih cenderung pada proses hafalan,” ujar Erlangga.
Erlangga menambahkan, survei karakter akan menguji apakah siswa punya ‘jiwa Pancasilais’ atau tidak—bukan sekadar hapal teksnya.
“Tapi bagaimana anak-anak itu di-asses tentang sikap gotong-royongnya, apakah mereka sering mem-bully, ada deviant behaviour, kemampuan mereka menghormati orangtua dan lain sebagainya,” papar Erlangga soal format penilaian.
Perubahan format UN telah bergulir sejak 10 tahun terakhir. Pada tahun 2000-an, UN menjadi satu-satunya penentu kelulusan bagi siswa sekolah. Pada tahun 2011, komponen nilai sekolah ikut dimasukkan untuk menentukan kelulusan.[rt/ka]