Skandal video porno yang melibatkan vokalis band Peterpan, Ariel Irham dan kekasihnya artis Luna Maya, serta artis Cut Tari baru-baru ini, memecah belah masyarakat pers Indonesia dalam memandang program berita hiburan di televisi yang dalam khasanah jurnalistik Indonesia disebut infotainment.
Program berita hiburan yang dibuat beberapa rumah produksi yang ditayangkan di hampir semua stasiun televisi ini, mengerahkan semua energi untuk meliput skandal yang memiliki nilai jual tinggi ini.
Banyak insan pers menilai, dalam meliput peristiwa itu, para pekerja infotainment sering tidak mengindahkan kaidah-kaidah peliputan sepatutnya, misalnya, mereka sering tidak menampilkan kedua sisi maupun melakukan uji silang kepada nara sumber.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI), dan Asosiasi Jurnalis Televisi Indonesia (AJTI) menghendaki agar infotainment dikategorikan sebagai karya non-faktual. Dengan demikian, karya jurnalistik mereka dikategorikan sebagai ceritera fiktif dalam film, meski prosedur kerja mereka mengikuti pola kerja jurnalistik.
Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bersikap lebih netral dengan mengatakan, infotainmen diakui oleh Undang-Undang Pers tahun 1999, karena undang-undang itu mencakup media cetak dan elektronik. Jalan keluarnya, Dewan Pers kini tengah membahas pembentukan sebuah media watch untuk menganalisa siaran televisi.
Sejumlah organisasi keagamaan juga mengecam praktik jurnalistik infotainmen karena program itu menyebarkan aib dalam rumah tangga.
Namun, apa pun bentuk kejengkelan perorangan atau institusional terhadap infotainmen, kegiatan ini tak akan terhentikan karena kebiasaan bergunjing merupakan naluri kemanusiaan yang tak terhentikan oleh siapa pun. Kemajuan teknologi radio dan pertelevisian, mengamplifikasi pergunjingan itu. Beberapa tahun belakangan ini, Internet menglobalisasinya.
Taufiq Rachman, seorang wartawan The Jakarta Post, lulusan Universitas Northern Illinois, De Kalb, dan Wina Armada Sukardi, anggota Dewan Pers dan mantan ketua PWI mengulas skandal ini dengan VOA, dan mengulas dampaknya terhadap masyarakat pers Indonesia khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Berikut kutipan wawancara dengan keduanya.
VOA: Bagaimana Anda menjelaskan praktik jurnalisme infotainment?
Taufiq Rahman: Fenomena infotaintmen itu bisa kita jelaskan sebagai kepanjangan dari apa yang sudah kita lakukan di masa lalu ketika belum ada televisi, belum ada media (cetak), belum ada radio. Kita biasa bergunjing dengan tetangga untuk sekadar menghabiskan waktu luang.
Si A hamil di luar nikah, dibicarakan. Si B punya pacar baru dibicarakan. Yang dilakukan infotainmen sekarang ini adalah kepanjangan atau ekstensi dari apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Tetapi berhubung dengan kemajuan teknologi, maka sekarang kita punya media yang khusus membahas itu. Ada televisi yang khusus membahas dan kalau kemudian ini diklaim sebagai perwakilan dari institusi jurnalisme, saya pikir, (itu) tak terlalu tepat dan agak berlebihan karena kita harus menempatkan bahwa (acara) itu adalah hiburan.
Jadi, keputusan beberapa pihak yang ingin memasukkan ini di luar ranah jurnalisme, saya setuju karena salah satu tujuan penting, untuk tidak mengatakan, tujuan yang sangat penting, dari jurnalisme adalah pendidikan, dan pencerahan lewat informasi-informasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Satu kaidah mendasar yang disepakati semua wartawan adalah prinsip meliput dua pihak (cover both sides). Nah, hal inilah yang banyak tidak dilakukan oleh media-media entertainment, media-media gosip itu. Mereka lebih banyak menyiarkan berita-berita yang tidak jelas sumbernya. Konfirmasi yang mereka, menurut pengamatan saya, sangat supervisial. Mereka berduyun-duyun ke depan rumah nara sumber (tanpa diundang), tanpa pemberitahuan lebih dahulu, hanya sekedar memberi lip service bahwa mereka seolah-olah sudah melakukan tugas-tugas jurnalisme. Saya kira, tugas jurnalisme bukan itu.
VOA: Jurnalisme model infotainment di Indonesia juga ada di luar negeri. Anda pernah menetap lama di Amerika. Bagaimana Anda menjelaskan berita-berita hiburan di Amerika?
Taufiq: Saya terus terang ketika berada di luar negeri, terutama di Amerika, saya senang sekali menyaksikan E! Entertainment atau TMZ yang sangat terkenal baik online mau pun televisi TMZ, pada dasarnya menyiarkan hal-hal yang tidak penting. Dari situ, saya, atau mungkin orang yang nonton itu sadar bahwa itu hiburan.
Jadi, kita tempat hal-hal seperti itu pada tempat yang sebenarnya: bahwa itu hiburan. Jadi, di luar negeri, tempatnya jelas yakni televisi kabel. Kalau koran, tempatnya jelas yakni tabloid, koran kuning. Ketika koran kuning atau siaran televisi gosip itu menyiarkan programnya, kita tidak menanggapi itu sebagai hal yang serius dan orang-orang di balik media itu tidak mengklaim diri sebagai perwakilan dari jurnalisme yang serius. Mereka tidak berpretensi untuk menjadi serius.
Sedangkan di Indonesia, kasusnya, mereka main-main, tetapi ingin mengklaim dirinya sebagai melakukan pekerjaan jurnalisme. Saya pikir itu tidak fair untuk jurnalis yang benar-benar menjalankan tugasnya. Kalau di luar negeri, ada pembagian tugas yang jelas bahwa ini entertainment. Tak usah dianggap serius.
Tetapi kalau The New York Times menulis tentang artis, The New York Times tidak menulisnya sebagai gosip. Mereka akan menulisnya dengan cross check ke sumber yang jelas. Oleh kerena itu, tulisan di New York Times, akan dianggap serius dan bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi kalau ada orang yang menonton Angelina Jolie di televisi TMZ, maka, orang akan melihatnya sebagai hiburan, tidak serius.
VOA: Jurnalisme infotainment atau paparazzi di Inggris lebih galak, bukan?
Taufiq: Di Inggris itu, tabloid-tabloid kuning itu, lebih kejam lagi. Mereka terkenal sangat sarkastis, sangat mengganggu privacy orang lain. Salah satu dari beberapa agen foto paparazzi paling besar, adalah di Inggris. Satu foto seharga 100 hingga 200 ribu dolar hanya untuk foto artis yang sedang mandi di tepi pantai . Jadi, hal-hal yang supervisial mendapat tempat yang tinggi di sana. Jadi, itu fenomena yang sangat universal bahwa manusia tak bisa dilepaskan dari kecenderungannya untuk bergunjing. Cuma, pada akhirnya harus ada batasannya.
VOA: Skandal video porno memecah belah masyarakat pers. Bagaimana Anda menjelaskannya?
Wina Armada Sukardi: Saya ingin meluruskan apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Tak ada satu keputusan resmi yang mengatakan bahwa infotainment bukan jurnalistik. Dalam hal ini, ada dua pendapat bahkan di kalangan organisasi wartawan. Persatuan Wartawan Indonesia sejak awal mengatakan infotainment adalah bagian dari jurnalistik. Oleh karena itu, PWI memiliki departemen infotainment.
Sebaliknya AJI, baru saja beberapa hari lalu mengatakan infotainment bukan jurnalistik. Bagaimana dengan Dewan Pers, lembaga independen yang ditugaskan oleh UU Pers untuk mengurusi masalah-masalah pers. Dewan pers berpatokan kepada pasal 1 ayat 1 UU no 40 1999 yang mengatakan UU Per situ meliputi pers cetak, elektronik, termasuk radio dan televisi dan semua saluran yang tersedia.
Oleh karena itu,sampai hari ini, pendapat Dewan Pers adalah semua yang memenuhi kaidah UU pers dan kode etik jurnalistik, apakah itu infotainment atau bukan, termasuk ke dalam karya jurnalistik. Inilah yang menjadi keputusan.
VOA: Mengapa AJI mempersoalkannya?
Wina: Masalah ini bermula kepada penayangan mengenai kasus video porno yang melibatkan Ariel, Luna Maya dan Cut Tari. Ada perbedaan pendapat memandang hal ini. Satu pihak mengatakan termasuk banyak pendukung AJI: bahwa Ariel, Cut Tari dan Luna Maya tidak bersalah, mereka adalah korban. Oleh karena itu, tak bisa dihukum. Sebaliknya banyak pendukung lainnya, terutama pendukung PWI yang mengatakan ini adalah tindakan asusila dan dijatuhi hukuman sesuai undang-undang pornografi.
Perdebatan soal ini kemudian melebar kepada masalah infotainment karena soal ini ditayangkan hampir setiap hari dan sempat memecahkan rekor sebagai trending topic di Twitter. Dari situlah kemudian menimbulkan perdebatan. Perdebatan lebih hangat lagi ketika ada keputusan ketika ada rapat antara KPI, Komisi I DPR dan tiga anggota Dewan Pers yang mengatakan akan mempertimbangkan infotainment dari karya factual menjadi karya non-factual.
Jadi, kalau selama ini, menurut KPI infotainment adalah karya factual, berdasarkan fakta-fakta akan dimasukkan ke dalam karya non-faktual. Jadi, dianggap kreasi imajinatif dan penuh rekayasa. Kalau ini terjadi, maka infotainment, sebagai konsekuensi logis, akan masuk ke dalam sensor yang dilakukan lembaga resmi yakni Lembaga Sensor Film.
Tentu penyensoran semacam ini menimbulkan lagi perdebatan di kalangan jurnalistik karena UU Pers pasal 4 ayat 2 dengan tegas mengatakan, terhadap pers nasional, tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan dan pelarangan siaran.
VOA: Seperti di Amerika, bagaimana kalau televisi kabel dikembangkan di Indonesia agar program infotainment bisa melakukan eksplorasi secara lebih leluasa tetapi eksklusif?
Wina: Kalau kita bicara channel khusus maka akan banyak sekali, sedangkan ini, setiap stasiun televisi, hampir mempunyai infotainment. Anda bayangkan, berapa banyak channel khusus nantinya.
Kemudian juga di sini, berkaitan dengan kewenangan, yuridiksi. KPI mengatakan, karena ini di layar televisi, adalah kewenangan KPI. Dan oleh karena itu, KPI berhak memutuskan apa saja, termasuk melakukan sensor, pemberhentian penyiaran sementara, teguran dan sebagainya.
Sebaliknya, saya pribadi, (merujuk pada) UU Pers, yang meliputi cetak dan elektronik. Inilah pada hari-hari ini, yang di Indonesia sedang ramai diperbincangkan, bahkan sudah menyangkut masalah pribadi dari masing-masing orang dari anggota Dewan Pers maupun KPI.