Partisipasi perempuan dalam kegiatan pertambangan emas skala kecil relatif cukup besar. Persentasenya diperkirakan 30 persen. Namun menurut Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Yun Insiani, perempuan yang terlibat di dalam pertambangan emas skala kecil belum sepenuhnya mendapatkan manfaat dari keikutsertaannya itu , khususnya dalam hal kesehatan, dan pendidikan.
"Padahal perempuan menjadi pelaku penting dalam kontribusi perekonomian keluarga serta pengembangan komunitas lokal," kata Yun dalam sebuah diskusi daring, Rabu (15/7).
Menurut Yun, perempuan di pertambangan emas skala kecil menghadapi banyak tantangan saat melakukan pekerjaannya. "Contohnya untuk pekerjaan yang sama beratnya, perempuan yang bekerja di pertambangan sering dibayar lebih rendah dari laki-laki. Padahal mereka melakukan pekerjaan yang sangat berbahaya seperti memecahkan dan memindahkan batu serta menggunakan merkuri untuk mengekstrak emas," ungkap Yun.
Yun mengungkapkan, merkuri sangat berbahaya bagi perempuan usia subur dan ibu hamil. Sayangnya, pertambangan emas skala kecil dinilai tidak menerapkan praktik pertambangan yang memperhitungkan kesehatan dan keselamatan pekerja dan lingkungannya.
Budi Susilorini, pendiri bersama organisasi "Women in Mining and Energy" mengatakan, para penambang perempuan Indonesia berada di kelas sosial terendah karena tidak memiliki status legal. Para penambang perempuan di Tewang Pajangan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, adalah contoh nyata dari fakta tersebut. Di desa tersebut diperkirakan terdapat 500 penambang laki-laki, dan 50 penambang perempuan.
"Kemampuan mereka sangat terbatas. Bisa dikatakan tidak memiliki akses terhadap modal, pengetahuan, keterampilan, dan peralatan menambang. Bahkan (akses) ke pasar jual beli emas," katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Koordinator Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Riau, Suwondo menuturkan para penambang perempuan di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, kini bahkan tersingkir dengan hadirnya kelompok-kelompok penambang ilegal yang menjalankan usahanya dengan sistem semprot atau pengerukan.
"Tradisi-tradisi (penambang tradisional) dalam 10 tahun terakhir mengalami penurunan dengan masuknya kelompok-kelompok penambang yang ilegal tersebut," jelas Suwondo.
Pertambangan emas skala kecil pada awalnya banyak dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat di wilayah yang berpotensi emas. Namun seiring perjalanan waktu, bermunculanlah para pendatang yang merebut mata pencaharian mereka. Para pendatang itu hadir karena alasan kemiskinan dan sulitnya mencari pekerjaan.
Pascareformasi politik 1998 tercatat ada sekitar 850 titik pertambangan emas skala kecil yang tersebar di 180 kabupaten/kota mulai dari Aceh hingga Papua. Kegiatan itu menjadi sumber penghasilan bagi kurang lebih 300 hingga 500 ribu penduduk Indonesia. [aa/ab]