Membuat kerangka pendanaan dunia yang baru untuk keanekaragaman hayati, yang menjadi permintaan utama negara-negara berkembang pada perundingan PBB di Montreal, “akan memakan waktu bertahun-tahun” dan kurang efektif dibandingkan mereformasi mekanisme keuangan yang ada, kata menteri lingkungan hidup Kanada pada Selasa (13/12).
Posisi Kanada mencerminkan konsensus di kalangan negara-negara maju dalam isu sensitif yang telah muncul sebagai masalah utama dalam negosiasi untuk menyetujui kesepakatan baru dunia untuk mengatasi masalah lingkungan pada pertemuan yang disebut sebagai COP15 itu.
Delegasi dari seluruh dunia telah berkumpul untuk menghadiri KTT, yang digelar di Montreal dari 7 hingga 19 Desember, untuk mencapai sebuah kesepakatan baru, yaitu sebuah kerangka kerja selama 10 tahun ke depan yang bertujuan menyelamatkan hutan-hutan, samudera, dan berbagai spesies di planet Bumi sebelum terlambat.
Rancangan capaian mencakup komitmen untuk melindungi 30 persen daratan dan lautan dunia pada 2030, menghilangkan praktik penangkapan ikan dan subsidi pertanian yang berbahaya, serta mengatasi spesies invasif dan mengurangi pestisida.
Puluhan negara, dipimpin Brazil, India, Indonesia dan negara-negara Afrika, menuntut subsidi keuangan sedikitnya $100 miliar (sekitar Rp1.553 triliun) per tahun hingga 2030, atau satu persen PDB dunia, untuk melindungi ekosistem. Subsidi itu saat ini masih berada pada angka $10 miliar (sekitar Rp155 triliun) per tahun.
“Negara-negara di Utara paham bahwa ambisi harus diiringi dengan sumber daya keuangan,” kata Menteri Lingkungan dan Perubahan Iklim Kanada Steven Guilbeault dalam konferensi pers yang digelar di tengah-tengah perundingan.
Akan tetapi “kekhawatiran saya adalah pembentukan kerangka pendanaan yang baru akan memakan waktu bertahun-tahun, dan selama itu, negara-negara di Selatan tidak akan menerima uang sepeser pun dari pendanaan tersebut,” tambahnya.
Ia menyebut Global Environment Facility, mekanisme multilateral utama untuk keanekaragaman hayati yang saat ini berlaku, memakan waktu tujuh tahun untuk dibentuk. Para donor berkomitmen menyediakan $5,3 miliar dalam mekanisme pendanaan itu pada siklus kali ini, 2022-2026.
“Untuk itu saya rasa lebih baik menggunakan kerangka pendanaan yang sudah ada” sambil mencoba mereformasinya agar pendanaan tersebut lebih bisa diakses, ujarnya.
“Di sisi lain, kita harus menyepakati fakta bahwa pendanaan itu tidak boleh hanya berasal dari dana publik,” kata Guilbeault, yang menekankan bahwa kontribusi pihak swasta dan filantropis harus ikut berperan, demikian juga pemberi pinjaman multilateral seperti Bank Dunia dan IMF.
“Kita perlu mendorongnya lebih kuat pekan ini,” pungkasnya, setelah perundingan pekan pertama berakhir dengan jalan buntu. [rd/ka]