Raja Inggris, Charles, menghadapi seruan untuk memperhitungkan masa lalu kolonial negaranya, ketika pertemuan puncak para pemimpin Persemakmuran pada Jumat (25/10), yang seharusnya bersahabat, berubah menjadi perdebatan sengit mengenai warisan perbudakan dan kerajaan.
Para pemimpin dari 56 negara anggota Persemakmuran, yang sebagian besar terdiri dari negara-negara bekas jajahan Inggris, berkumpul untuk menghadiri KTT di Samoa, dengan harapan membuktikan bahwa blok tersebut masih relevan.
Namun, alih-alih bersatu untuk mengatasi isu-isu mendesak seperti perubahan iklim, KTT perdana Charles III sebagai raja justru dibayangi oleh sejarah.
Banyak negara Afrika, Karibia, dan Pasifik ingin melihat Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya, membayar kompensasi finansial untuk perbudakan, atau setidaknya melakukan perbaikan politik.
Mereka ingin agar KTT ini secara khusus berkomitmen pada diskusi tentang topik keadilan reparatif, sebuah perdebatan yang dihindari pemerintah Inggris di tengah kesulitan finansial.
BACA JUGA: Senator Aborigin Australia Meneriaki Raja Charles: “Anda Bukan Raja Saya”Perdana Menteri Bahama Philip Davis mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa perdebatan mengenai masa lalu sangat penting.
“Waktunya telah tiba untuk melakukan dialog yang nyata tentang bagaimana kita mengatasi kesalahan-kesalahan historis ini,” katanya.
“Keadilan reparatif bukanlah percakapan yang mudah, tetapi ini adalah percakapan yang penting,” tambah Davis. “Kengerian perbudakan meninggalkan luka yang mendalam dan turun-temurun dalam komunitas kita, dan perjuangan untuk keadilan dan keadilan reparatori masih jauh dari selesai.”
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer sejauh ini secara terbuka menolak seruan untuk membayar reparasi, dan para perwakilan telah mengesampingkan permintaan maaf pada pertemuan tersebut.
Keluarga kerajaan Inggris, yang diuntungkan oleh perdagangan budak selama berabad-abad, juga telah menghadapi seruan untuk meminta maaf.
Sebuah rancangan deklarasi KTT yang menyerukan perdebatan tentang kolonialisme menimbulkan ketegangan.
Salah satu sumber diplomatik, yang berbicara secara anonim, mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa negara-negara maju berusaha untuk memperhalus bahasa dalam deklarasi akhir.
“Seruan untuk reparasi bukan hanya tentang kompensasi finansial; ini tentang mengakui dampak abadi dari eksploitasi selama berabad-abad dan memastikan bahwa warisan perbudakan ditangani dengan kejujuran dan integritas,” tegas Davis.
Joshua Setipa dari Lesotho, salah satu dari tiga kandidat yang bersaing untuk menjadi sekretaris jenderal Persemakmuran berikutnya, mengatakan bahwa reparasi dapat mencakup bentuk-bentuk pembayaran nontradisional seperti pembiayaan iklim.
“Kita bisa menemukan solusi yang akan mulai mengatasi sejumlah ketidakadilan di masa lalu dan menempatkannya dalam konteks yang terjadi di sekitar kita saat ini,” katanya kepada AFP menjelang pertemuan tersebut.
Kingsley Abbott, Direktur Institut Studi Persemakmuran di Universitas London, mengatakan bahwa pencantuman teks mengenai keadilan reparatif merupakan “kemajuan yang signifikan” bagi Persemakmuran.
BACA JUGA: Menlu Inggris Ingin Perkuat Hubungan Keamanan dengan Indonesia dan Korea SelatanDia mengatakan kepada AFP bahwa hal itu “mengungkapkan bahwa pintu menuju dialog yang berarti telah terbuka”.
Raja Charles diperkirakan akan berpidato di hadapan para pemimpin dunia pada Jumat pagi di bawah teriknya cuaca Samoa, dan berjanji akan “mendiskusikan isu-isu yang paling menantang dengan keterbukaan dan rasa hormat”, termasuk reparasi perdagangan budak, demikian laporan media Inggris.
“Bersama-sama kita lebih bijaksana, lebih kuat, dan lebih mampu menanggapi tuntutan zaman kita,” kata Charles.
Raja Inggris ini mengakhiri tur 11 hari ke Australia dan Samoa, keduanya negara Persemakmuran yang independen. Ini perjalanan luar negeri besar pertama sejak ia didiagnosis menderita kanker pada awal tahun ini. [th/ka]