Pada aktivis yang datang dari Aceh hingga Papua itu berkumpul selama dua hari, 19-20 November 2019 di Yogyakarta. Mereka bertemu dalam forum “Dialog dan Kerjasama Lintas Iman untuk Indonesia yang Lebih Baik, Damai, dan Toleran secara Kritis-Konstruktif”. Sejumlah nama yang hadir antara lain Franz Magnis Suseno, Daniel Dhakidae, Amin Abdullah, Elga Sarapung, Yayah Khisbiyah. Mereka berdiskusi bersama sejumlah birokrat lokal, pemuka agama, akademisi, guru, serta aktivis lintas iman. Acara ini diinisiasi oleh Institut DIAN/Interfidei, Yogyakarta.
Elga Sarapung dari DIAN/Interfidei menyebut, dialog ini dilatarbelakangi keprihatinan terjadinya berbagai kasus intoleransi, meningkatnya konservatisme dalam beragama, serta sejumlah kasus ekstrimisme-terorisme di Indonesia. Ada tiga isu utama dalam rekomendasi yang mereka berikan, yaitu terkait birokrasi, pendidikan dan media.
“Kita belum tahu bagaimana detail kebijakan program-program Jokowi selama lima tahun ke depan. Tapi kami sebagai gerakan antariman di Indonesia, bagaimana kami bersama-sama bisa melakukan sesuatu lima tahun ke depan ini. Bukan sendiri-sendiri dan hanya untuk kami sendiri, di daerah masing-masing, tapi betul-betul kita bisa bekerja sama membangun sesuatu bersama dengan pemerintah juga,” kata Elga.
Your browser doesn’t support HTML5
Beberapa butir rekomendasi yang diberikan di sektor birokrasi antara lain adalah bahwa negara tidak boleh toleran terhadap kelompok intoleran. Penyelenggara negara harus menegaskan kembali komitmen kebangsaannya dalam perumusan kebijakan publik, mendorong Pemerintah segera membuat Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama dan Kepercayaan. Pemerintah melakukan penguatan kompetensi guru semua mata pelajaran dalam membangun nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan peserta didik. Serta pemerintah mengembangkan dan mendorong penggunaan bahan ajar yang sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal, sikap-sikap toleran, dan demokrasi
Di sektor masyarakat sipil, pertemuan ini merekomendasikan inisiatif yang lebih kuat dari para aktivis untuk mendorong kebijakan publik yang pro nilai kemanusiaan, keadilan dan non-diskriminatif. Peranan tokoh-tokoh agama dalam membangun pendidikan toleransi di masyarakat dan penggunaan media sosial juga harus digalakkan.
Dalam isu terkait media, forum merekomendasikan platform media sosial agar bertanggung jawab menangkal konten-konten kebencian. Mereka juga harus mengambil langkah tegas bagi bot dan buzzer yang menyebarkan konten kebencian. Pertemuan ini juga mendorong media ikut mengkampanyekan toleransi, memberitakan contoh-contoh keteladanan kepada publik, menggunakan kutipan atau khotbah tokoh agama yang menyejukkan dan mendorong toleransi. Media juga diharapkan tetap setia pada prinsip-prinsip jurnalisme Indonesia dalam memberitakan isu agama dan keyakinan atau kepercayaan.
Franz Magnis Suseno mengakui, secara umum situasi masyarakat di Indonesia masih tetap toleran. Penilaian itu, kata Magnis, antara lain didasarkan fakta bahwa di Indonesia kelompok minoritas bisa hidup dan beribadah ditengah mayoritas tanpa kesulitan, tanpa takut, dan tanpa membedakan mayoritas dan minoritas. Namun, belakangan ini tindak intoleran dirasa makin naik dan harus disikapi dengan serius.
“Kalau tindak-tindak intoleransi biarkan saja, hal itu juga bisa berubah. Karena akan berarti signal, bahwa asal minoritas-minoritas intoleran betul-betul bertindak, yang lain tidak berani. Jadi negara Republik Indonesia harus intoleran terhadap intoleransi, dan secara konsisten mereka yang mau merusak toleransi kita, tidak boleh ditoleransi,” papar Magnis.
Magnis meminta seluruh tindakan terkait penegakan toleransi diletakkan pada hukum dan undang-undang yang berlaku. Dibutuhkan ketegasan dari alat negara untuk menindak sikap main hakim sendiri dari kelompok intoleran.
“Yang terjadi di dalam rangka hukum harus dilindungi, dengan segala konsekuensi. Masyarakat harus tahu, bahwa sikap toleransi dilindungi dan bahwa sikap intoleran tidak dibiarkan. Sikap lunak alat negara sekarang, ketika begitu saja ada orang-orang intoleran memprotes sesuatu, akan menghancurkan toleransi kita sendiri,” tambah Magnis.
Magnis juga meminta pemerintah Jokowi memberi instruksi tegas kepada aparat negara agar tidak membiarkan tindakan intoleran berjalan. Jangan sampai muncul persepsi, bahwa jika puluhan atau ratusan orang berkumpul, maka mereka memiliki hak untuk bertindak apapun.
BACA JUGA: Kata Bersama: Cari Kesamaan, Bukan PerbedaanSementara itu, tokoh pers Daniel Dhakidae menyoroti penggunaan media sosial yang makin marak. Informasi berubah dan tersebut dengan cepat dalam skala global. Sayangnya, masyarakat tidak cukup memiliki literasi digital, sehingga dampak negatifnya, termasuk dalam isu terkait agama, kadang lebih terasa.
Karena itulah, Daniel berharap ada tanggung jawab lebih besar di masyarakat terkait apa yang mereka sampaikan di media sosial. Sedangkan pemerintah memiliki tugas mendidik masyarakat agar mampu memanfaatkan kehadiran teknologi dengan lebih baik.
“Dengan seluruh situasi yang baru itu, maka ada etika di sana. Yaitu etika dalam arti pertanggungjawaban, responsibility setiap orang, baik tentang konten yang dia tulis maupun dampak yang akan diterima, dari konten-konten yang dikemukakan itu,” ujar Daniel. [ns/uh]