Nepal telah membuka situs-situs bersejarah utamanya untuk mencoba menarik turis kembali ke negara yang dihantam gempa bumi besar April lalu, meski ada kekhawatiran soal keamanan.
Pukulan besar terhadap sektor pariwisata akibat bencana tersebut merupakan beban ganda untuk bangsa Himalaya miskin yang sangat bergantung pada uang yang dikeluarkan turis.
Setelah membersihkan puing-puing dan menutup bangunan-bangunan tua yang hancur akibat gempa 25 April, otoritas Nepal membuka banyak situs bersejarah populer Senin pagi (15/6).
Situs-situs itu termasuk tiga bekas "durbar" atau alun-alun kerajaan di Kathmandu, Patan dan Bhaktapur. Istana-istana gemerlap dan kuil-kuil bersejarah menarik puluhan ribu turis, terutama dari India.
Di Bhaktapur, setelah upacara yang dilakukan para penari dan musisi, Menteri Pariwisata Kripasur Sherpa mendesak orang-orang untuk datang ke negara itu untuk liburan yang akan "membantu membangun kembali Nepal."
Seorang pejabat senior di Dewan Pariwisata Nepal, Aditya Baral, mengatakan mereka ingin mengirim pesan bahwa Nepal aman dan ingin mengakomodasi turis dengan "antusiasme baru."
"Pemerintah berusaha menunjukkan bahwa ini adalah negara ramah turis dan bahwa penderitaan sudah lewat, dan sekarang orang-orang telah mulai pulih dan kembali ke kehidupan normal. Tapi orang-orang masih takut untuk datang ke Nepal," ujar Baral.
Tantangan Besar
Namun menarik kembali turis merupakan tantangan besar. Dalam pernyataan minggu lalu, badan kebudayaan PBB, UNESCO, mengemukakan kekhawatiran atas dibuka kembalinya situs-situs bersejarah dan meminta publik untuk sangat berhati-hati. Lembaga itu mengatakan beberapa situs masih dalam keadaan genting.
Namun para pejabat Nepal yakin tidak ada risiko. Mereka mengatakan para pengunjung akan diberi tur dengan pemandu dan hanya diizinkan mengunjungi bangunan-bangunan yang aman. Di beberapa tempat mereka bahkan diberi helm pengaman.
Beberapa bangunan ikonik seperti Menara Dharahara setinggi 60 meter di Alun-alun Durbar Kathmandu ambruk akibat gempa dahsyat, dan ratusan situs kuno lainnya, yang besar maupun kecil, rusak. Namun banyak juga kuil dan istana yang bertahan tanpa kerusakan berarti.
Mereka yang terlibat dalam industri pariwisata dan perjalanan di Nepal mengatakan laporan-laporan media "yang sangat dibesar-besarkan" mengenai kerusakan infrastruktur dan situs-situs bersejarah Nepal membuat turis tidak berani datang.
Para pejabat pariwisata mengatakan dari mulai bandar udara Kathmandu, sampai sebagian besar hotel dan jaringan komunikasi telah kembali berfungsi, dan menekankan bahwa "situasi normal."
Direktur pengelola Hotel Shangri-La yang mewah di Kathmandu, Prasidha Panday, mengatakan sebagian besar ibukota telah kembali pulih. Ia tidak melihat ada alasan bagi turis untuk tidak berkunjung.
"Pada dua minggu terakhir saja semua kafe, klub, restoran dan semuanya telah kembali aktif. Untuk itu, saya rasa seharusnya tidak ada masalah. Begitu orang berkunjung, mereka akan sadar bahwa dampaknya tidak seperti yang diperlihatkan," ujar Panday.
Pekerja Berpenghasilan Rendah
Upaya pemerintah untuk menarik turis kembali datang muncul karena hampir dari setengah juta orang yang bergantung pada pendapatan sektor pariwisata, seperti portir, pemandu dan pramusaji sangat sulit mencari penghidupan lagi setelah gempa.
Hare Ram Baral, kepala Asosiasi Pemandu Wisata di Nepal, mengatakan situasi parah bagi ribuan pekerja berpenghasilan rendah.
"Sembilan puluh persen pemandu menganggur, mereka tidak punya pekerjaan. Mereka kurang percaya diri dengan apa yang harus dilakukan. Saya mengatakan kepada kolega-kolega saya, tunggu saja setahun," ujarnya.
Selain kekhawatiran akan pemulihan ekonomi pariwisata, ada juga kekhawatiran-kekhawatiran mengenai pembangunan kembali situs-situs yang rusak.
Aditya Baral dari Dewan Pariwisata Nepal mengatakan pekerjaan itu butuh waktu bertahun-tahun.
"Ini tidak seperti membangun rumah baru. Pemerintah mencoba memberikan pelatihan. Ini proses jangka panjang," ujar Baral.
Upaya untuk memperbaiki struktur-struktur bersejarah yang rusak dipimpin oleh UNESCO dan diperkirakan akan menghabiskan biaya sekitar US$18 juta.