Nestapa Buruh Perempuan di Perkebunan Sawit

Seorang pekerja perempuan tengah menggendong alat penyemprot pestisida di punggungnya di perkebunan kelapa sawit di Sumatera, 8 September 2018. Beberapa pekerja menggunakan pasta kuning yang terbuat dari bubuk beras dan akar lokal sebagai tabir surya. (Foto: AP / Binsar Bakkara)

Buruh perempuan yang bekerja di perkebunan sawit masih terus menjadi sorotan. Sejumlah pihak menyebut buruh perempuan baik di Indonesia maupun di negara tetangga, yang bekerja di perkebunan sawit masih dihadapkan dengan masalah yang kompleks.

Tindakan kekerasan, intimidasi, hingga pelecehan seksual masih terus menghantui para buruh perempuan di perkebunan sawit. Tak terkecuali buruh perempuan migran yang juga bekerja di perkebunan sawit di negara tetangga seperti Malaysia.

Seorang perempuan mengumpulkan biji sawit dari tanah di sebuah perkebunan kelapa sawit di Sumatera, 21 Februari 2018. (Foto: dok).

Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, Musdalifah menuturkan masih banyak ditemukan buruh migran perempuan di perkebunan sawit asal Sulawesi Selatan yang menjadi korban tindak kekerasan hingga pelecehan.

“Di tahun 2020 kami menemukan beberapa kasus yang sejak lama terus terjadi. Di mana situasi kekerasan, intimidasi, pelecehan, dan diskriminatif masih ditemui teman-teman yang bermigrasi khususnya mereka yang menjadi buruh di perusahaan sawit,” kata Musdalifah dalam sebuah diskusi daring, Rabu (9/12).

Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, Musdalifah saat memberikan keterangan secara daring terkait buruh perempuan di perkebunan sawit, Rabu 9 Desember 2020. (Foto:VOA)

Tak sampai di situ, menurut Musdalifah, buruh migran perempuan di perkebunan sawit juga kerap dieksploitasi dan dipaksa bekerja melewati batas waktu. Bahkan buruh migran perempuan di perkebunan sawit tinggal di tempat yang jauh dan tak layak.

“Secara tidak langsung perusahaan, mandor atau calo perekrut itu telah melakukan eksploitasi tenaga dan tubuh perempuan,” ungkapnya.

SP Anging Mammiri menyebut ada beberapa faktor penyebab buruh migran perempuan di perkebunan sawit masih dihadapkan dengan kondisi tersebut. Mulai dari relasi kuasa yang timpang, iming-iming kehidupan yang baik, rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, hingga belum adanya kebijakan yang menjamin perlindungan serta pemenuhan hak perempuan buruh migran.

Musdalifah menyayangkan minimnya respons pemerintah terhadap isu ini, bahkan tidak melakukan penanganan trauma akibat kekerasan yang dialami buruh perempuan ketika kembali ke Indonesia.

Bayi dan balita perempuan pekerja kelapa sawit tidur siang di tempat penitipan anak sementara di Sumatera, 14 November 2017. (Foto: dok).

“Buruh migran perempuan sudah mengalami kekerasan, intimidatif, pelecehan seksual. Tapi trauma itu tidak dijadikan sesuatu yang penting oleh pemerintah sehingga tidak ada penanganan khusus yang dilakukan untuk memulihkan trauma yang dirasakan buruh migran perempuan,” ungkapnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Nestapa Buruh Perempuan di Perkebunan Sawit


Serbundo : Tak Jarang Buruh Migran Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit Alami Kekerasan Seksual

Tak jauh beda dengan nestapa yang dihadapi buruh migran perempuan di negara tetangga. Hal serupa juga kerap dialami buruh perempuan perkebunan sawit di Indonesia.

Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo), Nurhaimah Purba saat memberikan keterangan secara daring terkait buruh perempuan di perkebunan sawit, Rabu 9 Desember 2020. (Foto: VOA)

Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo), Nurhaimah Purba menuturkan permasalahan kompleks seperti status hubungan kerja yang rentan, beban kerja tinggi, upah di bawah ketentuan, hingga minimnya alat pelindung diri saat bekerja, dan kekerasan seksual masih menjadi persoalan bagi para buruh perempuan di perkebunan sawit di Indonesia.

“Kami masih menemukan buruh perempuan diintimidasi seperti diancam dan dipaksa untuk meminum air seni, itu masih terjadi,” ungkapnya.

Sementara itu Direktur Sawit Watch, Inda Fatinaware mengatakan tidak adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap buruh perempuan di perkebunan sawit menjadi penyebab mengapa hal tersebut masih terus terjadi.

“Sampai saat ini tidak ada, pemerintah beralasan bahwa tidak punya anggaran untuk melakukan itu (perlindungan terhadap buruh),” katanya. [aa/em]