Dengan pilpres Amerika Serikat yang kian dekat, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kemungkinan besar berharap kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih.
Masa jabatan terakhir Trump memberikan keuntungan bagi Netanyahu. Menjelang pemungutan suara pada 5 November, Trump juga menyampaikan berbagai pesan ambigu terkait kebijakan Timur Tengahnya.
Pernyataannya bervariasi, mulai dari mendorong Netanyahu untuk menyerang fasilitas nuklir Iran – yang tidak dilakukan Israel dalam serangan ke Iran pada Sabtu (26/10) – hingga mengkritik pemimpin Israel tersebut.
Trump juga memastikan akan mendorong Israel untuk mengakhiri perang.
Namun, menurut para analis, kebijakan yang tidak jelas ini, dipadukan dengan slogan kampanye Trump "Jadikan Amerika Hebat Lagi", adalah harapan Netanyahu.
Sebagai seorang yang menganut kebijakan non-intervensi, Trump, yang merupakan presiden dari Partai Republik, mungkin akan memberikan Netanyahu lebih banyak kebebasan dalam konflik di Gaza dan Lebanon.
"Salah satu tonggak sejarah Netanyahu adalah pemilihan umum Amerika Serikat. Ia berharap Trump menang, yang menurutnya akan memberikan banyak kebebasan untuk bergerak dan mewujudkan apa yang ia cita-citakan," kata Gidon Rahat, profesor hubungan internasional di Universitas Ibrani Yerusalem, kepada AFP.
Aviv Bushinsky, seorang komentator politik dan mantan kepala staf Netanyahu, mengatakan hal serupa, "Pengalamannya dengan Partai Republik sangat bagus... tidak seperti dengan Partai Demokrat yang jauh lebih keras kepadanya."
Hubungan Erat
Selama 17 tahun masa jabatannya sebagai perdana menteri, Netanyahu hanya pernah berhadapan dengan satu pemimpin Partai Republik, yaitu Trump.
Selama masa jabatannya, Trump mengambil beberapa langkah yang memperkuat posisi Netanyahu di dalam negeri, sekaligus mengubah sejumlah kebijakan lama Amerika Serikat terkait Israel, konfliknya dengan Palestina, dan wilayah yang lebih luas.
Eks presiden dari Partai Republik itu memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke Yerusalem, yang diklaim Israel sebagai ibu kotanya yang utuh; mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang diduduki; serta mengawasi normalisasi hubungan antara tiga negara Arab dengan Israel.
Trump juga menarik diri dari kesepakatan nuklir penting dengan musuh bebuyutan Israel, Iran, dan memberlakukan kembali sanksi ekonomi yang keras terhadap republik Islam tersebut.
BACA JUGA: Harris Desak Netanyahu Akhiri Perang Gaza; Trump akan Akhiri Perang Gaza Jika TerpilihSementara itu, Presiden Joe Biden menjalin hubungan yang tegang dengan Netanyahu, meskipun ia tetap menegaskan "dukungan kuatnya" untuk Israel.
Tidak seperti Trump, Biden memperingatkan Netanyahu agar tidak menyerang fasilitas produksi minyak dan nuklir Iran.
Trump dan Netanyahu juga memiliki hubungan pribadi yang erat. Bahkan Trump mengungkapkan bahwa ia sering melakukan panggilan telepon dengan sang perdana menteri Israel.
"Kami memiliki hubungan yang sangat baik," kata Trump saat kampanye di Georgia. "Kami akan bekerja sama dengan mereka dengan sangat erat."
Populer di Israel
Trump tidak hanya populer di kalangan Netanyahu, tetapi juga di kalangan masyarakat Israel. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan pada September oleh Mitvim, Institut Israel untuk Kebijakan Luar Negeri Regional, menunjukkan bahwa 68 persen warga Israel menganggap Trump sebagai kandidat yang paling mendukung kepentingan Israel.
Hanya 14 persen yang memilih Wakil Presiden Kamala Harris, meskipun Harris berulang kali menyatakan dukungannya terhadap Israel dan haknya untuk membela diri.
"Di Israel, dibandingkan dengan negara demokrasi liberal lainnya selain Amerika Serikat, Trump lebih populer daripada Harris," kata Nadav Tamir, mantan diplomat Israel untuk Amerika Serikat dan anggota dewan direksi Mitvim.
Namun, pemerintahan Trump yang baru bisa saja mengejutkan, menurut Tamir.
Di antara warga Palestina, hanya ada sedikit antusiasme terhadap kedua kandidat, kata Khalil Shikaki, seorang ahli politik dan pencatat jajak pendapat Palestina.
"Warga Palestina tidak memercayai kedua kandidat dan tidak melihat banyak perbedaan di antara mereka," katanya.
Taher al-Nunu, seorang pejabat Hamas, mengatakan kepada AFP bahwa ia yakin "pemerintahan AS berturut-turut selalu bias" terhadap Israel. [ah/gg]