Netanyahu Incar Iran setelah Taklukkan Hamas, Hizbullah, dan Suriah

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan pidato pada upacara penghormatan bagi perwira tempur militer di pangkalan militer dekat Mitzpe Ramon, Israel, 31 Oktober 2024. (Foto: Reuters/Amir Cohen)

Runtuhnya Assad, tersingkirnya para pemimpin tinggi Hamas dan Hizbullah, serta hancurnya struktur militer mereka menjadi rangkaian kemenangan monumental bagi Netanyahu.

Tahun 2025 akan menjadi momen penentuan bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan musuh bebuyutannya, Iran.

Pemimpin senior Israel tersebut bertekad untuk memperkuat tujuan strategisnya: memperketat kendali militer atas Gaza, menghambat ambisi nuklir Iran, serta memanfaatkan kekalahannya sahabat-sahabat Teheran, yaitu Hamas di Palestina, Hizbullah di Lebanon, dan penggulingan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Runtuhnya Assad, tersingkirnya para pemimpin tinggi Hamas dan Hizbullah, serta hancurnya struktur militer mereka menjadi rangkaian kemenangan monumental bagi Netanyahu.

Tanpa Suriah, aliansi yang dibangun Teheran selama puluhan tahun sontak runtuh. Dengan melemahnya pengaruh Iran, Israel kini tampil sebagai kekuatan utama di kawasan.

Netanyahu bersiap menarget ambisi nuklir dan program rudal Iran, dengan bertekad untuk membongkar serta menetralkan ancaman strategis tersebut terhadap Israel.

Pasukan berkumpul di sekitar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu saat ia mengunjungi posisi yang baru diduduki di puncak Gunung Hermon, di dalam zona penyangga Suriah di Dataran Tinggi Golan, 17 Desember 2024. (Maayan Toaf/Israeli Government Press Office)

Menurut pengamat Timur Tengah, Iran menghadapi pilihan yang sulit: melanjutkan program pengayaan nuklirnya atau mengurangi aktivitas atomnya dan menyetujui perundingan.

"Iran berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap serangan Israel, terutama terkait program nuklirnya," ujar Joost R. Hiltermann, Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara di International Crisis Group. "Saya tidak akan terkejut jika Israel melancarkan serangan, tetapi hal itu tidak akan mampu menghilangkan ancaman Iran sepenuhnya."

"Jika mereka [Iran] tidak mundur, [Donald] Trump dan Netanyahu kemungkinan akan melakukan serangan, karena saat ini tidak ada yang bisa menghentikan mereka," kata analis Palestina Ghassan al-Khatib. Ia menilai bahwa kepemimpinan Iran, yang sebelumnya menunjukkan sikap pragmatis, mungkin bersedia berkompromi demi menghindari konfrontasi militer.

Trump menarik Amerika Serikat dari perjanjian nuklir 2015 yang melibatkan Iran dan enam negara besar untuk membatasi ambisi nuklir Teheran. Ia diperkirakan akan memperketat sanksi terhadap industri minyak Iran, meskipun banyak kritikus mendorong diplomasi sebagai solusi jangka panjang yang lebih efektif.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, kiri, mengunjungi pasukan Israel di zona penyangga di dalam Suriah, 17 Desember 2024. (Foto: via AP)

Menentukan Warisan

Di tengah kekacauan di Iran dan Gaza, persidangan korupsi Netanyahu yang dilanjutkan pada Desember akan berperan penting dalam menentukan apa warisannya. Untuk pertama kalinya sejak perang Gaza 2023, Netanyahu hadir dalam proses persidangan yang memecah belah warga Israel.

Dengan berakhirnya 2024, Netanyahu diperkirakan akan menyetujui perjanjian gencatan senjata dengan Hamas untuk menyudahi perang Gaza yang telah berkobar selama 14 bulan. Perjanjian tersebut juga diharapkan dapat membebaskan sandera Israel yang ditahan di daerah kantong tersebut, menurut sumber yang dekat dengan negosiasi.

Namun, Gaza kemungkinan akan tetap berada di bawah kendali militer Israel, kecuali Amerika Serikat memiliki rencana pascaperang yang mengharuskan Israel menyerahkan kekuasaan kepada Otoritas Palestina, yang ditolak Netanyahu. Sementara itu, negara-negara Arab tidak tampak berusaha menekan Israel untuk berkompromi atau mendorong Otoritas Palestina yang sedang lemah untuk memperbarui kepemimpinannya agar dapat mengambil alih.

BACA JUGA: Netanyahu: Pasukan Israel akan Duduki Zona Penyangga di Wilayah Suriah untuk Saat Ini 

"Israel akan tetap berada di Gaza secara militer di masa mendatang karena penarikan pasukan apa pun membawa risiko Hamas melakukan reorganisasi. Israel percaya bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan perolehan militer adalah dengan tetap berada di Gaza," ujar Khatib kepada Reuters.

Bagi Netanyahu, hasil tersebut akan menjadi kemenangan strategis, memperkuat status quo yang sesuai dengan visinya: mencegah terbentuknya negara Palestina sambil memastikan kendali jangka panjang Israel atas Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, wilayah yang diakui secara internasional sebagai bagian dari negara Palestina pada masa mendatang.

Perang Gaza dimulai ketika Hamas menyerbu Israel pada 7 Oktober 2023, menewaskan 1.200 orang dan menyandera 250 orang, menurut penghitungan Israel. Israel membalas dengan serangan udara dan darat merenggut 45.000 nyawa, menurut otoritas kesehatan setempat, serta mengakibatkan 1,2 juta orang mengungsi dan menghancurkan sebagian besar daerah kantong Gaza.

Meskipun pakta gencatan senjata akan segera mengakhiri permusuhan di Gaza, hal itu tidak akan menyelesaikan konflik Palestina-Israel yang lebih mendalam dan sudah berkecamuk selama puluhan tahun, kata pejabat Arab dan Barat.

BACA JUGA: Pasukan Israel akan Bertahan di Zona Penyangga Suriah Sampai Keamanan Terjamin

Di lapangan, prospek terbentuknya negara Palestina, yang terus dikesampingkan oleh pemerintah Netanyahu, semakin sulit terealisasi. Para pemimpin pemukim Israel semakin optimis bahwa Trump akan sangat mendukung pandangan mereka.

Lonjakan kekerasan pemukim dan meningkatnya kepercayaan diri gerakan pemukim, termasuk papan reklame jalan raya di beberapa wilayah Tepi Barat yang bertuliskan pesan dalam bahasa Arab "Tidak Ada Masa Depan di Palestina,” menunjukkan tekanan yang semakin besar terhadap warga Palestina.

Bahkan jika pemerintahan Trump mendorong diakhirinya konflik, "resolusi apa pun akan sesuai dengan persyaratan Israel," kata Hiltermann dari Crisis Group.

"Sudah berakhir jika menyangkut negara Palestina, tetapi orang-orang Palestina masih ada di sana," katanya.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kanan) dan Kepala Staf Angkatan Darat Israel Herzi Halevi (kiri) saat memberikan pengarahan di Koridor Netzarim, 19 November 2024. (Foto: AFP)

Pada masa jabatan Trump sebelumnya, Netanyahu meraih beberapa kemenangan diplomatik, termasuk "Kesepakatan Abad Ini," rencana perdamaian yang didukung Washington dan diluncurkan Trump pada 2020 untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Rencana tersebut, jika diterapkan, akan menandai perubahan besar dalam kebijakan Amerika Serikat dan perjanjian internasional. Ini secara terang-terangan berpihak pada Israel dan menyimpang jauh dari kerangka kerja perdamaian berbasis tanah yang selama ini memandu negosiasi.

Rencana tersebut akan memberi Israel hak untuk mencaplok sebagian besar wilayah Tepi Barat yang diduduki, termasuk permukiman Israel dan Lembah Yordan. Rencana ini juga akan mengakui Yerusalem sebagai "ibu kota Israel yang tidak terbagi," yang secara efektif menolak klaim Palestina atas Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka yang sesuai dengan resolusi PBB. [ah/ft]