Serangan udara Israel menghantam wilayah padat penduduk, Rafah, pada Sabtu (10/2) menyusul perintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kepada pasukannya untuk "bersiap beroperasi" di kota perbatasan selatan. Padahal Rafah menjadi tempat pertahanan terakhir bagi para pengungsi Palestina.
Serangan yang direncanakan Netanyahu di Rafah, tempat sekitar 1,3 juta orang mengungsi, menuai kecaman dari kelompok hak asasi manusia dan Washington. Di sisi lain, warga Palestina mengeluhkan kondisi mereka yang tidak punya tempat lagi untuk pindah.
Para saksi mata melaporkan adanya serangan yang menggempur Rafah pada Sabtu (10/2) pagi, setelah militer Israel mengintensifkan serangan udara. Warga khawatir serangan itu akan diikuti oleh invasi darat.
“Kami tidak tahu ke mana harus pergi,” kata Mohammad al-Jarrah, seorang warga Palestina yang mengungsi dari utara ke Rafah.
Kota ini merupakan pusat populasi besar terakhir di Jalur Gaza yang belum dimasuki oleh pasukan Israel. Namun juga merupakan pintu masuk utama pasokan bantuan yang sangat dibutuhkan.
Netanyahu mengatakan kepada para pejabat militer pada Jumat untuk "menyerahkan kepada kabinet terkait rencana untuk mengevakuasi penduduk dan menghancurkan batalyon" Hamas yang bersembunyi di Rafah, kata kantornya.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan pihaknya tidak mendukung serangan darat di Rafah, dan memperingatkan bahwa, jika tidak direncanakan dengan baik, operasi semacam itu berisiko menimbulkan "bencana".
Washington adalah pendukung internasional utama Israel, yang menggelontorkan bantuan militer sebesar miliaran dolar.
BACA JUGA: Biden Sebut Tanggapan Israel di Gaza ‘Berlebihan’Namun sebagai tanda rasa frustrasinya yang semakin besar terhadap kepemimpinan Israel, Presiden Joe Biden mengeluarkan kritik terpedasnya terhadap perilaku perang tersebut. Ia menggambarkan pembalasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober sebagai tindakan yang terlalu berlebihan.
“Saya berpandangan, seperti yang Anda tahu, bahwa tindakan respons di Gaza, di Jalur Gaza, sudah berlebihan,” kata Presiden AS.
"Ada banyak orang tak berdosa yang kelaparan... dalam kesulitan dan sekarat, dan ini harus dihentikan."
Mati di Rumah
Warga Palestina yang mengungsi dari kota-kota lain di Gaza telah membanjiri Rafah, di mana ratusan ribu orang tidur di tenda-tenda yang terletak di dekat perbatasan Mesir.
Gambar-gambar AFP menunjukkan pemandangan kehancuran di jalan-jalan Rafah, di mana orang-orang mengantre untuk mendapatkan air yang semakin langka.
Kelompok hak asasi manusia telah memperingatkan kemungkinan adanya serangan darat di sana.
“Serangan darat yang dinyatakan Israel di Rafah akan menjadi bencana besar dan tidak boleh dilanjutkan,” kata Doctors Without Borders dalam sebuah pernyataan. “Tidak ada tempat yang aman di Gaza dan tidak ada jalan bagi orang untuk keluar.”
Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan pada hari Jumat bahwa tiga anak tewas dalam serangan di Rafah.
“Kami mendengar suara ledakan besar di samping rumah kami… kami menemukan dua anak tewas di jalan,” kata Jaber al-Bardini, 60 tahun.
BACA JUGA: Petugas Medis Gaza: Pasukan Israel Serbu Rumah Sakit Khan Yunis"Tidak ada tempat yang aman di Rafah. Jika mereka menyerbu Rafah, kami akan mati di rumah kami. Kami tidak punya pilihan. Kami tidak ingin pergi ke tempat lain."
Tentara Israel mengkalim pasukannya berhasil “melenyapkan 15 teroris” dalam satu hari terakhir di Khan Yunis, kota terbesar di Gaza selatan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan setiap serangan Israel ke Rafah “akan secara eksponensial meningkatkan apa yang sudah menjadi mimpi buruk bagi kemanusiaan”.
Namun kantor Netanyahu mengatakan “tidak mungkin” mencapai tujuan perang untuk melenyapkan Hamas ketika meninggalkan empat batalyon militan di Rafah. [ah/ft]