Nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS) tertahan di atas Rp 16 ribu dalam empat hari terakhir sejak Rabu (10/4). Data terbaru yang dikutip dari Google Finance menunjukkan nilai tukar rupiah masih bertengger di angka Rp16.117 pada Sabtu (13/4). Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan Kalkulator Kurs Bank Indonesia yang menunjukkan kurs jual dolar AS mencapai Rp16.407 pada Sabtu (13/4).
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai pelemahan nilai tukar Rupiah dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu inflasi AS. Inflasi AS pada Maret 2024 (secara tahunan) naik ke level 3,5 persen dari bulan sebelumnya 3,2 persen.
"Tentu saja inflasi ini, kenaikan barang dan jasa itu memang sulit dihindari, ketika mereka (AS) dalam masa pemulihan seperti ini. Saya kira ini faktor utama karena sentimen Amerika," ujar Tauhid Ahmad kepada VOA, Jumat (12/4).
Tauhid menambahkan inflasi ini juga dapat memicu dana keluar dari negara berkembang seperti di Indonesia. Sebab Bank sentral AS, The Fed, kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga acuan. Namun, sebaliknya justru diperkirakan akan dinaikkan untuk mengendalikan inflasi.
Dengan demikian suku bunga atau imbal hasil surat utang AS jauh lebih menarik dibandingkan dengan negara berkembang dan bisa memicu pelarian dana ke AS.
"Banyak pelaku bisnis itu melihat bahwa ini buruk. Era suku bunga tinggi yang tadi arahnya di kuartal dua mulai membaik di Amerika, tapi ternyata malah naik," tambahnya.
Penyebab lainnya, kata Tauhid, adalah adanya surplus perdagangan Indonesia yang semakin kecil yang berdampak pada turunnya pendapatan dolar AS. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perdagangan Indonesia pada Februari 2024 membukukan surplus $0,87 miliar lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai $2,02 miliar.
Apalagi, kata dia, pertumbuhan impor lebih tinggi dibandingkan ekspor sehingga mengakibatkan kebutuhan dolar AS lebih tinggi dan bisa memicu pelemahan nilai tukar rupiah. Karena itu, ia menyarankan pemerintah memberbaiki lalu lintas ekspor Indonesia agar bisa memperkuat nilai tukar rupiah. Semisal dengan mencari pasar di negara lain yang masih tumbuh positif seperti India dan Malaysia.
Selain itu, Ahmad menyarankan Bank Indonesia melakukan kebijakan untuk memperkuat nilai tukar rupiah dengan intervensi di pasar valuta asing (valas) maupun Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF). Kebijakan tersebut perlu diambil agar pelemahan rupiah tersebut tidak berdampak lebih luas seperti ke APBN, subsidi energi dan utang yang lebih besar.
Domestic Non-Deliverable Forward sendiri adalah salah satu intrumen moneter yang bertujuan untuk melindung risiko fluktuasi rupiah.
Belum ada tanggapan dari Bank Indonesia terkait pelemahan nilai tukar rupiah. Namun melalui keterangan tertulis pada (5/4) Bank Indonesia menyampaikan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait. Termasuk mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Bank Indonesia juga menyampaikan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2024 tetap tinggi sebesar $140,4 miliar, meski menurun dibandingkan posisi pada akhir Februari 2024 sebesar $144,0 miliar.
Your browser doesn’t support HTML5
Penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah, antisipasi kebutuhan likuiditas valas korporasi, dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah seiring dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
"Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono melalui keterangan tertulis pada Jumat (5/4). [sm/ah]