Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi meminta Indonesia mereformasi batasan impor untuk mendorong investasi dan memperbaiki ketahanan pangan nasional.
Indonesia harus mereformasi pajak ekspor dan batasan impor untuk komoditas pertanian untuk mendorong investasi pada sektor tersebut dan memperbaiki ketahanan pangan nasional, ujar kelompok negara-negara ekonomi papan atas dunia pada Rabu (10/10).
Pertanian menyumbangkan sekitar 15 persen pada Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan mempekerjakan kurang lebih 42 juta orang.
Proteksi impor membatasi daya saing sektor pertanian, membatasi produktivitas dan pertumbuhan serta meningkatkan biaya pangan untuk konsumer miskin, ujar Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam ulasannya mengenai kebijakan pertanian Indonesia.
“Jika tujuannya adalah untuk meningkatkan akses terhadap makanan untuk konsumen Indonesia, menaikkan harga pangan tersebut bukanlah langkah awal yang baik,” ujar Ken Ash, kepala direktorat perdagangan dan pertanian pada OECD, dalam wawancara dengan kantor berita Reuters.
"Itulah yang dilakukan pembatasan impor, apakah itu pembatasan tarif, jumlah atau standar di perbatasan.”
Indonesia memberlakukan pembatasan dan tarif impor untuk beberapa jenis makanan seperti gula, gandum, beras dan kacang hijau, meski pembatasan itu seringkali dihapus ketika harga global melonjak.
Minggu lalu, sebuah kelompok industri di Indonesia, importir top Asia untuk gandum, mendesak pemerintah untuk memperbaiki tarif impor 20 persen untuk tepung gandum yang bertujuan melindungi penggiling biji gandum dalam negeri.
Meski merupakan pembeli gula terbesar di dunia, Indonesia membatasi import pemanis tersebut untuk melindungi petani lokal dan membantu penggilingan tebu dalam negeri.
Laporan OECD mengatakan bahwa banyak dari reformasi kebijakan pertanian yang diperkenalkan oleh Indonesia yang sejalan dengan persyaratan pinjaman IMF setelah krisis keuangan Asia 1998 sekarang sebagian besar telah dikembalikan.
Diantaranya adalah penghapusan monopoli Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk banyak impor pertanian, pengurangan tarif dan penghapusan subsidi pupuk.
“Anda mungkin mencoba melindungi beberapa pengusaha, namun dengan mengorbankan konsumen,” ujar Andrzej Kwiecinski, analis kebijakan pertanian senior di laboratorium kebijakan di Paris untuk OECD.
Pajak-pajak ekspor untuk produk-produk pertanian melukai produsen-produsen utama negara ini, seraya membuat sektor tersebut tidak ramah terhadap investor, ujar Ash dari OECD.
Indonesia, yang merupakan produsen pertanian terbesar ke-10 di dunia, adalah salah satu produsen teratas minyak kelapa sawit dan penghasil kakao terbesar ke tiga.
Namun pemerintah telah memberlakukan pajak ekspor untuk minyak kelapa sawit dan biji kakao untuk menjamin pasokan domestik, menaikkan pendapatan dan membantu industri-industri pemroses dalam negeri.
“Hal itu mengecilkan hati produsen utama,” tambah Ash.
“Jika Anda memiliki uang dan ingin berinvestasi, apakah Anda akan menanamkan uang di suatu lingkungan yang membiarkan Anda memanfaatkan kesempatan domestik dan internasional dengan bergerak melintasi perbatasn… atau di negara yang melarangnya?”
Untuk meningkatkan investasi di sektor pertanian, Indonesia disarankan menurunkan pajak ekspor, menegakkan hukum kehutanan, memperbaiki infrastruktur, mempermudah akses kredit, mengatasi masalah hak lahan dan meningkatkan dana untuk riset pertanian.
Saran lain dalam laporan tersebut termasuk menggantikan subsidi pupuk yang tinggi menjadi skema voucher, memperbaiki pasokan air, dan menawarkan pendidikan dan bantuan yang lebih tinggi untuk pekerja pertanian yang ingin meninggalkan sektor tersebut.
Pengentasan Kemiskinan
Meski pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan melewati 6 persen tahun ini, namun sekitar setengah dari penduduk masih hidup dengan kurang dari US$2 per hari.
Lonjakan harga pangan global, seperti kacang hijau dan jagung tahun ini, seringkali berdampak keras pada warga miskin di pedesaan.
Untuk membantu mengatasi hal ini, Ash mengatakan bahwa Indonesia harus memperluas peran Bulog dari sekedar mengurusi beras untuk membangun persediaan pangan yang lebih besar.
Meski menjamin cadangan darurat untuk komoditas pangan untuk melawan lonjakan harga mungkin dilakukan, Ash mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang mencoba mengelola daya pasar biasanya berakibat pada kegagalan yang mahal.
Indonesia telah membuat beberapa target swasembada pada 2014, seperti swasembada daging, beras dan jagung, namun OECD mengatakan bahwa fokus tersebut salah tempat, karena penekanan yang lebih besar dibutuhkan pada keragaman pangan di samping beras.
Indonesia, yang mencapai swasembada beras pada 1980an sebelum tanah pertanian diubah menjadi perumahan untuk penduduk yang banyak, telah mencoba untuk mengendalikan konsumsi beras dan memperluas sawah, namun masih bergantung pada impor untuk meningkatkan persediaan.
Indonesia dapat menggantikan skema beras untuk warga miskin (raskin) dengan pembayaran uang untuk memberikan rumah tangga pilihan yang lebih besar dan membantu mengurangi kebergantungan pada beras, ujar penelitian tersebut. (Reuters/Michael Taylor)
Pertanian menyumbangkan sekitar 15 persen pada Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan mempekerjakan kurang lebih 42 juta orang.
Proteksi impor membatasi daya saing sektor pertanian, membatasi produktivitas dan pertumbuhan serta meningkatkan biaya pangan untuk konsumer miskin, ujar Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam ulasannya mengenai kebijakan pertanian Indonesia.
“Jika tujuannya adalah untuk meningkatkan akses terhadap makanan untuk konsumen Indonesia, menaikkan harga pangan tersebut bukanlah langkah awal yang baik,” ujar Ken Ash, kepala direktorat perdagangan dan pertanian pada OECD, dalam wawancara dengan kantor berita Reuters.
"Itulah yang dilakukan pembatasan impor, apakah itu pembatasan tarif, jumlah atau standar di perbatasan.”
Indonesia memberlakukan pembatasan dan tarif impor untuk beberapa jenis makanan seperti gula, gandum, beras dan kacang hijau, meski pembatasan itu seringkali dihapus ketika harga global melonjak.
Minggu lalu, sebuah kelompok industri di Indonesia, importir top Asia untuk gandum, mendesak pemerintah untuk memperbaiki tarif impor 20 persen untuk tepung gandum yang bertujuan melindungi penggiling biji gandum dalam negeri.
Meski merupakan pembeli gula terbesar di dunia, Indonesia membatasi import pemanis tersebut untuk melindungi petani lokal dan membantu penggilingan tebu dalam negeri.
Laporan OECD mengatakan bahwa banyak dari reformasi kebijakan pertanian yang diperkenalkan oleh Indonesia yang sejalan dengan persyaratan pinjaman IMF setelah krisis keuangan Asia 1998 sekarang sebagian besar telah dikembalikan.
Diantaranya adalah penghapusan monopoli Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk banyak impor pertanian, pengurangan tarif dan penghapusan subsidi pupuk.
“Anda mungkin mencoba melindungi beberapa pengusaha, namun dengan mengorbankan konsumen,” ujar Andrzej Kwiecinski, analis kebijakan pertanian senior di laboratorium kebijakan di Paris untuk OECD.
Pajak-pajak ekspor untuk produk-produk pertanian melukai produsen-produsen utama negara ini, seraya membuat sektor tersebut tidak ramah terhadap investor, ujar Ash dari OECD.
Indonesia, yang merupakan produsen pertanian terbesar ke-10 di dunia, adalah salah satu produsen teratas minyak kelapa sawit dan penghasil kakao terbesar ke tiga.
Namun pemerintah telah memberlakukan pajak ekspor untuk minyak kelapa sawit dan biji kakao untuk menjamin pasokan domestik, menaikkan pendapatan dan membantu industri-industri pemroses dalam negeri.
“Hal itu mengecilkan hati produsen utama,” tambah Ash.
“Jika Anda memiliki uang dan ingin berinvestasi, apakah Anda akan menanamkan uang di suatu lingkungan yang membiarkan Anda memanfaatkan kesempatan domestik dan internasional dengan bergerak melintasi perbatasn… atau di negara yang melarangnya?”
Untuk meningkatkan investasi di sektor pertanian, Indonesia disarankan menurunkan pajak ekspor, menegakkan hukum kehutanan, memperbaiki infrastruktur, mempermudah akses kredit, mengatasi masalah hak lahan dan meningkatkan dana untuk riset pertanian.
Saran lain dalam laporan tersebut termasuk menggantikan subsidi pupuk yang tinggi menjadi skema voucher, memperbaiki pasokan air, dan menawarkan pendidikan dan bantuan yang lebih tinggi untuk pekerja pertanian yang ingin meninggalkan sektor tersebut.
Pengentasan Kemiskinan
Meski pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan melewati 6 persen tahun ini, namun sekitar setengah dari penduduk masih hidup dengan kurang dari US$2 per hari.
Lonjakan harga pangan global, seperti kacang hijau dan jagung tahun ini, seringkali berdampak keras pada warga miskin di pedesaan.
Untuk membantu mengatasi hal ini, Ash mengatakan bahwa Indonesia harus memperluas peran Bulog dari sekedar mengurusi beras untuk membangun persediaan pangan yang lebih besar.
Meski menjamin cadangan darurat untuk komoditas pangan untuk melawan lonjakan harga mungkin dilakukan, Ash mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang mencoba mengelola daya pasar biasanya berakibat pada kegagalan yang mahal.
Indonesia telah membuat beberapa target swasembada pada 2014, seperti swasembada daging, beras dan jagung, namun OECD mengatakan bahwa fokus tersebut salah tempat, karena penekanan yang lebih besar dibutuhkan pada keragaman pangan di samping beras.
Indonesia, yang mencapai swasembada beras pada 1980an sebelum tanah pertanian diubah menjadi perumahan untuk penduduk yang banyak, telah mencoba untuk mengendalikan konsumsi beras dan memperluas sawah, namun masih bergantung pada impor untuk meningkatkan persediaan.
Indonesia dapat menggantikan skema beras untuk warga miskin (raskin) dengan pembayaran uang untuk memberikan rumah tangga pilihan yang lebih besar dan membantu mengurangi kebergantungan pada beras, ujar penelitian tersebut. (Reuters/Michael Taylor)