Negara-negara makmur memenuhi target penyediaan bantuan dana iklim tahunan sebesar US$100 miliar bagi negara-negara miskin, untuk pertama kalinya pada 2022. Realisasi tersebut terlambat dua tahun dari janji yang mereka sampaikan, kata Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, (OECD) pada Rabu (29/5).
Kegagalan untuk menyediakan anggaran tepat pada waktunya telah mengikis kepercayaan pada negosiasi iklim, dan laporan OECD tersebut dirilis ketika negara-negara berpacu untuk menetapkan tujuan yang lebih ambisius pada November mendatang.
Pada 2009, negara-negara maju menjanjikan untuk mengumpulkan dana sebesar US$100 miliar pada 2020 untuk membantu negara-negara berpendapatan rendah berinvestasi pada energi bersih dan mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin memburuk.
Lebih dari satu dekade kemudian, target tersebut akhirnya terpenuhi untuk pertama kalinya pada 2022, dengan pengumpulan dana mencapai $115,9, menurut data OECD.
“Pencapaian ini terjadi dua tahun lebih lambat dari target awalnya, tahun 2020,” kata OECD, yang melacak angka-angka resmi terkait janji pendanaan iklim.
BACA JUGA: BMKG: 19% Zona Musim Masuki Musim Kemarau, Operasi Modifikasi Cuaca DimulaiPendanaan iklim bisa datang dari pemerintah dalam bentuk bantuan bilateral, pemberi pinjaman pembangunan multinasional seperti Bank Dunia, atau sektor swasta.
Mayoritas dari dana $100 miliar yang dikucurkan pada 2022 itu digunakan untuk aksi iklim yang membatasi pelepasan gas rumah kaca yang terperangkap panas, kata OECD, terutama dalam sektor energi bersih dan peningkatan transportasi.
Target dana $100 miliar itu tidak sedikitpun mendekati apa yang oleh para ahli katakan, akan dibutuhkan oleh negara-negara berkembang untuk energi terbarukan dan langkah-langkah adaptasi seperti pertahanan pesisir terhadap naiknya muka air laut.
Sebuah panel yang diselenggarakan PBB memperkirakan bahwa negara-negara tersebut – tidak termasuk China – akan membutuhkan dana sebesar $2,4 triliun per tahun pada 2030, untuk memenuhi kebutuhan iklim dan pembangunan mereka.
Banyak negara berkembang yang hanya sedikit menghasilkan gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Namun mereka menjadi yang paling terpapar terhadap dampak yang mahal dan merusak dari memburuknya cuaca ekstrem. [ns/rs]