Sebuah video yang tersebar luas di media sosial memperlihatkan tiga orang anggota suku Togutil menghampiri para pekerja tambang, di Halmahera, Maluku Utara. Sisa-sisa anggota kelompok adat yang hidup nomaden dan bergantung sepenuhnya pada hutan ini, justru terus terdesak oleh “proyek-proyek” pemerintah.
Ketiga orang itu, satu laki-laki dan dua perempuan, nyaris tidak berpakaian ketika datang. Mereka berjalan di tanah merah yang sudah dibersihkan dari pepohonan, sementara hutan membentang di latar belakangnya.
Antropolog dari Universitas Khairun Ternate, Safrudin Abdulrahman, memahami betul kelompok masyarakat ini karena beberapa kali melakukan penelitian tentang mereka. Dia terakhir bertemu dengan anggota suku nomaden ini pada Desember 2023.
Kata Abdulrahman, ada dua kemungkinan, mengapa mereka berinteraksi dengan para pekerja tambang itu.
“Pertama, apakah mereka keluar ini karena kelaparan. Ataukah mereka hanya sempat melewati wilayah perusahaan, karena wilayah perusahaan itu sudah terlalu dalam ke wilayah mereka sehingga berdekatan,” kata dia.
Namun, dua kemungkinan itu menggambarkan situasi yang sama: industri tambang merangsek terlalu dalam ke wilayah suku nomaden itu.
Sudut pandang itu juga diamini Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara, Faisal Ratuela. Dia menyebut dengan tegas, warga suku itu tidak keluar dari hutan.
“Itu bukan mereka keluar. Itu memang wilayah mereka, yang kemudian secara sepihak berdasarkan izin-izin yang negara kasih, kemudian mengabaikan aspek hak mereka,” kata dia.
Investasi tambang lah yang masuk ke wilayah kelompok adat ini dan membuka hutan yang menjadi “rumah” bagi mereka, lanjut Faisal.
Sementara Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Munadi Kilkoda, menyebut rekaman itu sebagai bukti abainya negara.
“Video itu adalah sebuah potret, di mana penggusuran yang dilakukan secara membabi-buta oleh sekian banyak perusahaan tambang di Halmahera terhadap Ohongana Manyawa, yang sekian lama hak-hak mereka tidak dilindungi negara,” ujarnya.
Kelompok Ohongana Manyawa
Warga suku ini tidak menyebut diri mereka sebagai Togutil. Sebutan itu justru diberikan oleh pihak luar.
Abdulrahman meluruskan, mereka adalah Ohongana Manyawa, anggota suku yang masih tinggal dan bergantung sepenuhnya pada hutan. Jumlah populasinya sekitar 500 orang, dan hidup dalam kelompok-kelompok kecil di hutan lebat Halmahera Timur dan Halmahera Tengah. Sementara ribuan warga suku yang sama, telah beralih untuk hidup menetap baik karena pilihan sendiri atau program pemerintah, dan kelompok ini disebut Oberera Manyawa atau warga pesisir.
Suku ini berbicara dalam bahasa Tobelo. Oleh karena itu, ada pekerja tambang yang bisa bercakap-cakap dengan mereka.
Video itu juga menggambarkan, interaksi lebih jauh ketika para pekerja memberikan makan, kepada ketiga orang itu yang terlihat kurus dan lemas.
“Ini menandakan bahwa area mereka sudah semakin sepit. Akhirnya ruang gerak mereka sempit. Boleh dikata, semakin memicu mereka ke wilayah perusahaan,” tambah Abdulrahman.
November 2023 lalu, tersebar juga video sejumlah warga suku Togutil, ketika alat berat milik sebuah perusahaan akan masuk ke area hutan. Dua warga Ohongana Manyawa bersenjata panah berada di seberang sungai menahan laju alat berat itu. Pada 2021, sejumlah pekerja tambang juga diserang menggunakan panah, ketika menyeberang sungai untuk masuk ke wilayah Ohongana Manyawa.
“Mereka anggap hutan itu seperti seorang ibu yang memberi makan ke anak-anaknya. Maka merusak hutan, sama dengan membunuh ibu mereka. Siapa yang tidak marah jika ibunya dibunuh,” jelas Abdulrahman.
Dia pernah membuat penelitian tentang sistem pengobatan Ohongana Manyawa yang sepenuhnya tergantung pada hutan, dan tidak mengenal obat modern. Merusak hutan untuk tambang tidak hanya menghancurkan sumber makanan, tetapi juga sekaligus sumber pengobatan warga Ohongana Manyawa yang sakit.
Tidak Dilindungi Negara
Munadi Kilkoda menjelaskan, secara keseluruhan suku yang juga disebut sebagai Tobelo Dalam ini terdiri dari 21 kelompok. Mereka tersebar di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Tidore kepulauan.
Munadi menjelaskan kegiatan sehari-hari suku Tobelo Dalam adalah berburu, meramu dan lain-lain sehingga mereka sangat bergantung pada sumber daya hutan
“Bahkan hutan itu dalam kosmologi mereka disebut sebagai rumah serta sumber kehidupan, sehingga begitu dalam pengetahuan mereka tentang hutan, dijaga. Bahkan ditanam pohon-pohonnya, karena itu sumber kehidpan mereka,” lanjutnya senada dengan Abdulrahman yang menyebut peran hutan sebagai ibu bagi suku ini.
Tidak hanya bagi yang nomaden, bahkan bagian dari suku Tobelo Dalam yang sudah memutuskan untuk menetap, masih memiliki ketergatungan tinggi terhadap hutan, kata Munadi.
BACA JUGA: Masyarakat Adat di Ibu Kota Nusantara Menuntut PengakuanPerubahan terjadi dalam beberapa fase di kalangan Ohongana Manyawa, yang menurut Munadi disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
Fase pertama, menurut catatan AMAN Maluku Utara, adalah ketika pemerintah menetapkan kawasan hutan di Halmahera sebagai taman nasional, dalam dua blok yaitu Aketajawe dan Lolobata sekitar 20 tahun yang lalu. Di awal penetapan kawasan, Ohongana Manyawa tidak ditempatkan secara semestinya oleh pemerintah, karena aktivitasnya dibatasi di kawasan tersebut. Dari titik inilah, menurut Munadi, konflik itu bermula,
“Konflik perebutan ruang hidup antara negara dan masyarakat Tobelo Dalam, bermula dari kebijakan-kebijakan tersebut,” ujar Munadi.
Munadi mengatakan adalah hadirnya perusahaan kayu yang beroperasi hingga jauh ke pedalaman hutan Halmahera. Perusahaan kayu merambah kawasan yang merupakan wilayah adat Tobelo Dalam. Suku ini tidak dilihat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam di wilayah tersebut.
Dikatakan Munadi, perusahan-perusahaan kayu, masuk dan merambah hutan warga Tobelo Dalam, menebang pohon dan pelan-pelan kelompok ini tersingkirkan dari ruang hidup mereka.
Fase yang lebih parah kemudian adalah masuknya perusahaan tambang ke hutan Halmahera.
“Kalau kita buka peta Halmahera itu, kalau kita buka secara detil, kita bisa baca disitu, separuh dari wilayah Halmahera itu sudah menjadi konsesi-konsesi besar perusahaan-perusahaan tambang,” lanjut Munadi.
Konsesi itu, ada di wilayah-wilayah adat yang dikuasai secara turun temurun oleh Ohongana Manyawa.
BACA JUGA: Jokowi: Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan Syaratnya KetatEkspansi Besar Korporasi
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara mencatat pada pertengahan 2024, provinsi tersebut diwarnai sejumlah konflik ruang yang melibatkan masyarakat dengan korporasi, baik di sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan monokultur maupun kepentingan lainnya.
Dalam pernyataannya, mereka menyebut masyarakat yang tinggal di pesisir maupun hutan Halmahera, terusik dengan adanya konsesi pertambangan seluas 75.422 hektar dari 28 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel, khususnya Halmahera Timur dan Halmahera Tengah.
“Pengekangan ruang hidup masyarakat adat di Halmahera akibat industri pertambangan nikel sangat terkait dengan rencana penggunaan energi untuk mobil listrik yang ditandai dengan kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN),” kata Faisal Ratuela, Direktur Walhi Maluku Utara.
Walhi Maluku Utara berprinsip, provinsi yang mayoritas wilayahnya terdiri dari laut, seharusnya menjadi fokus perlindungan alam.
“Termasuk daratan dan garis pantainya serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, bukan hanya memberikan izin eksploitasi yang pada akhirnya memberatkan Halmahera,” tambah Faisal.
Maluku Utara memiliki wilayah sekitar 3,5 juta hektar, di mana 2,5 juta hektar di antaranya adalah hutan. Secara keseluruhan, saat ini terdapat sekitar 146 IUP, dengan total luas konsesi mencapai 667.964,98 hektare.
Faisal mengingatkan, hutan adalah wilayah jelajah dan bagian dari rumah Ohongana Manyawa.
“Karena cadangan deposit nikelnya tinggi, kemudian diambil. Jadi sebenarnya warga Ohongana Manyawa itu tidak keluar dari hutan terus masuk ke area perusahaan. Tidak, itu adalah wilayah mereka,” tegas Faisal.
Ancaman investasi tambang nikel ini tidak hanya kepada Ohongana Manyawa , tetapi juga satwa endemik Maluku Utara, seperti burung Bidadari Halmahera yang berada di wilayah tersebut. Di sisi lain, meski sesuai aturan hukum, Halmahera tidak masuk dalam kelompok pulau kecil, Walhi menganggapnya sebagai pulau kecil. Alasannya, karena daya dukung dan daya tampung lingkungannya terbatas.
“Jika dieksplorasi secara besar seperti saat ini, akan berdampak luar biasa terhadap kehidupan warga yang di pesisir,” tambah Faisal.
Munadi Kolkida juga berpendapat, bahwa masuknya pertambangan ke hutan di mana Ohongana Manyawa tinggal, akan semakin membuat kelompok ini tersingkir.
“Kalau mereka terganggu, tidak ada perlawanan terbuka oleh mereka. Pilihannya adalah mereka akan migrasi ke wilayah yang dipercaya lebih aman,” kata dia.
Safrudin Abdulrahman juga membenarkan hal itu. Ohongana Manyawa tidak mempertahankan tanah adat, sebagaimana suku-suku lain di Indonesia, yang kadang disertai perlawanan dengan senjata tradisional.
“Kita masuk, mereka semakin mundur ke dalam. Semacam tidak ada masalah, kalau kita ambil wilayah mereka. Mereka hanya bertahan pada wilayah tertentu yang disakralkan,” ujar Abdulrahman.
Meneropong Masa Depan
Munadi mengingatkan, ada prinsip hak-hak asasi manusia (HAM) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disebut sebagai Free, Prior and Informed Consent of Indigenous Peoples. Prinsip tersebut intinya masyarakat adat berhak untuk memberi atau tidak memberi izin atas tindakan apa pun yang bisa mempengaruhi lahan, wilayah, atau hak-hak mereka.
Dalam kasus terkait pertambangan di kawasan yang menjadi hak masyarakat adat, prinsip ini harus diterapkan.
“Masyarakat adat harus diajak duduk membicarakan kepentingan perusahaan di situ,”kata dia.
Karena tambang itu ada di ruang hidup masyarakat adat, keputusan terkait bisa atau tidaknya perusahaan beroperasi di wilayah itu, menjadi keputusan masyarakat. Jika masyarakat adat menolak, perusahaan apapun tidak dapat berperasi, dan jika ini dilanggar, yang terjadi adalah pelanggaran HAM serius.
Sayangnya, kata Munadi, bentuk-bentuk pelanggaran HAM oleh perusahaan tambang tidak ditindak oleh negara.
BACA JUGA: Pakar: Ekspansi di Papua, Ironi Kampanye Sawit Berkelanjutan Indonesia“Bahkan seolah-olah negara melakukan pembiaran,” kata dia.
Abdulrahmah juga menekankan bahwa yang harus menyesuaikan diri adalah pihak luar, bukan Ohongana Manyawa.
“Mereka harus diselamatkan karena semakin sempit wilayahnya. Ohongana Manyawa di Halmahera Timur sudah sering menyebrang ke Halmahera Tengah, karena terdesak area tambang di wilayah mereka,” kata dia.
Pemerintah harus memastikan, setidaknya kawasan yang disakralkan oleh Ohongana Manyawa tetap bebas dari sentuhan siapapun, karena itu merupakan wilayah terakhir mereka. Jika secara sadar Ohongana Manyawa ingin menetap, pemerintah bisa memberikan bantuan, dengan berbagai penyesuaian.
Prinsipnya, kata Abdulrahman, sesuai tradisi rumah atau bangunan bagi Ohongana Manyawa tidak boleh memiliki kamar dan harus berada di tepi sungai, serta memiliki lahan tanaman konsumsi mereka.
“Kita membangun mereka, meningkatkan daya hidup meraka, dengan kearifan mereka, dengan tradisi mereka, dengan budaya mereka, dari semua aspek,” tandasnya.
Sementara Walhi menuntut tindakan lebih tegas.
“Kembalikan hutan mereka,” ujar Faisal.
Dia mengingatkan, jika suku ini bisa menilai, mungkin mereka akan mengatakan bahwa cara pihak luar dalam memperlakukan hutam sama sekali keliru. Salah satu yang harus dipelajari dari Ohongana Manyawa adalah tentang bagaimana mereka sangat menghargai pohon
“Kita memang harus belajar tentang penghargaan terhadap alam dari mereka,” kata Faisal. [ns/ft]