Olimpiade 2020 dan Stigma Tato di Jepang

Seniman tato Jepang, Noriyuki Katsuta, anggota “Selamatkan Seni Tato di Jepang,” memamerkan tatonya saat berpose untuk foto di studionya, Tokyo, 15 November 2017.

Tato di banyak negara dianggap seni. Namun, masyarakat Jepang punya pandangan miring tentang seni rajah tubuh itu. Anggapan tabu tato akan menghadapi tantangan saat negara Matahari Terbit itu menggelar Olimpiade pada 2020.

Di Jepang orang-orang bertato sering ditolak masuk tempat-tempat umum, seperti kolam renang, pemandian, pantai-pantai, dan sering kali pusat kebugaran. Tato juga bisa mempersulit prospek mencari pekerjaan.

“Ketika ibu saya pertama kali melihat tato saya, dia langsung menangis dan saya pikir ayah saya akan membunuh saya. Tapi saya suka tampil beda,” kata Mana Izumi, 29 tahun, kepada kantor berita AFP.

Izumi pertama kali memutuskan bertato pada usia 18 tahun. Bukan karena ingin mendobrak tabu atau memberontak, tapi hanya ingin meniru penampilan diva pop Jepang, Namie Amuro.

“Menyedihkan rasanya melihat diskriminasi masyarakat terhadap orang-orang tato,” kata Izumi sambal menunggu seniman tato menorehkan gambar tengkorak Aztec seharga $500 di kakinya.

Identitas Kriminal

Bagi masyarakat Jepang, tato adalah penanda kriminal. Dan pandangan itu sudah mengakar sejak berabad-abad.

Pada abad ke-17, para penjahat dicap dengan tato sebagai hukuman. Sekarang, anggota mafia Jepang, yakuza, merajah tubuh mereka dengan tato tradisional “irezumi” sebagai tanda kesediaan.

Mantan bintang film ‘dewasa’ Mana Izumi sedang ditato pada jari-jarinya di studio tato di Tsurugashima, Saitama, 28 Oktober 2017.

Ketika Jepang mulai membuka diri kepada dunia luar pada 1800an, tato dan kegiatan lain seperti pawang ular dan telanjang dimuka umum, dilarang. Jepang khawatir masyarakat luar menganggap mereka “primitive”, menurut

Padahal, pada saat yang sama, para bangsawan Eropa datang ke Jepang dan diam-diam mentato tubuh mereka.

Larangan tato berakhir pada 1948 setelah dicabut oleh tentara Amerika yang menduduki Jepang. Tapi stigma tato masih melekat kuat di Jepang.

BACA JUGA: Oleh-oleh Tato Kuno dari Yerusalem

“Mereka melihat tato dan mereka berpikir ‘yakuza’ – bukan mengagumi keindahan seni itu,” kata Ashcraft.

“Sampai hal itu berubah, tato masih akan ada di zona abu-abu.”

Stigma Tato

Aturan pemerintah Jepang yang sumir juga berdampak pada kriminalisasi para seniman tato, yang diperkirakan ada sekitar 3.000 orang di Jepang.

Misalnya, kasus yang menimpa seniman tato asal Osaka, Taiki Masuda. Masuda ditahan pada 2015 karena melanggar aturan hukum yang berlaku sejak 70 tahun lalu.

Seniman tato Jepang, Kazuyoshi Nakano, memperlihatkan tatonya di studionya di Yokohama, 27 Januari 2018. (Foto: AFP)

Seniman tato berusia 30 tahun itu didenda 300 ribu yen atau Rp 38,72 juta sesuai dengan Undang-undang Praktek Medis, yang melarang siapa saja kecuali dokter untuk melakukan prosedur medis.

Peraturan Menteri Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Tahun 2001 juga menggolongkan tato sebagai pekerjaan medis karena menggunakan jarum. Aturan ini makin mengkriminalisasi pekerjaan Masuda.

BACA JUGA: Rakyat Thailand Kenang Raja Bhumibol Lewat Tato

ia memutuskan untuk melawan aturan hukum itu. Setelah proses banding yang kontroversial dan berkepanjangan, pengadilan akhirnya membatalkan keputusan sebelumnya yang menyatakan Masuda bersalah.

“Tidak ada kerangka hukum yang mengatur industri tato di Jepang,” kata Masuda kepada AFP. “Penghidupan jadi terancam. Karena itu saya harus berjuang untuk melegalisasi tato.”

Noriyuki Katsuta, anggota lembaga nirlaba “Selamatkan Seni Tato di Jepang” memperkirakan antara 500 ribu dan 1 juta warga Jepang punya tato di tubuh mereka atau satu di antara 100-200 orang.

Seniman tato senior Jepang, Horiyoshi III, difoto di studio tatonya di Yokohama, Jepang, 27 Januari 2018.(Foto:AFP)

Olimpiade dan Tato

Kebencian masyarakat Jepang mengenai tato akan menjadi ujian pada saat penyelenggaraan Olimpiade Tokyo nanti dan Piala Dunia Rugby tahun depan. Dalam dua pesta olahraga besar itu, Jepang akan diserbu oleh pengunjung asing, termasuk atlet-atlet asing dengan tubuh berhias tato.

“Saya tidak tahu seberapa besar Olimpiade bisa mengubah pandangan,” kata Ashcraft. Tapi dia mencatat televisi-televisi Jepang masih mengaburkan gambar tato.

“Ketika orang Jepang melihat orang asing bertato, mereka lebih melihatnya sebagai budaya asing.”

Sebagian besar prasangka mengenai tato di Jepang berakar dari pemikiran ajaran kuno Konfusianisme, yang menganggap merusak badan yang diwariskan dari orang tua adalah bentuk ketidaksopanan, menurut Aschraft.

“Saya tidak merasa masyarakat secara aktif berpikir itu (tato) adalah sesuatu yang nista,” katanya. “Tapi saya pikir kesadaran kolektif masih ada.” [ft]