Ketua Ombudsman Amzulian Rifai menyatakan, perlakuan tidak nyaman mengarah pada intimidasi ditemukan di Banten, Lampung, dan Jawa Tengah, dan terjadi pada berbagai level pemerintahan daerah.
"Semacam intimidasi terkait dengan bantuan sosial oleh pejabat penyelenggara pelayanan yang diadukan kepada Ombudsman, mulai dari tingkat RT, desa, kelurahan, kecamatan, hingga pemerintah kabupaten kota, yang terjadi di berbagai wilayah,” ujar Amzulian dalam konferensi pers di Jakarta Kamis (18/6) siang.
Ombudsman menerima 1.488 aduan masyarakat dalam kurun 29 April hingga 16 Juni 2020. Aduan terkait bansos adalah yang terbanyak dengan 1.242 laporan (83 persen), disusul ekonomi dan keuangan 171 laporan (11,49 persen), terkait transportasi 38 laporan (2,55 persen), pelayanan kesehatan 30 laporan (2,01 persen), dan keamanan tujuh laporan (0,47 persen).
Amzulian mencontohkan, di Kalimantan Barat, bansos ditemukan tidak sesuai standar dan terkendala data.
"Ombudsman mendapatkan pengaduan terkait dana bantuan langsung tunai (BLT), mulai dari nilai bantuan di bawah standar Kemensos, data orang yang sudah meninggal tetapi tercatat sebagai penerima bantuan,” imbuhnya.
Sedangkan dari segi wilayah, pengaduan terbanyak datang dari Banten (13,3 persen) Sumatera Barat (9,6 persen), Kepulauan Bangka Belitung (9,2 persen), Jawa Tengah (6,6 persen), dan Jawa Timur (5,4 persen).
Amzulian mengatakan, Dinas Sosial tercatat sebagai lembaga yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.238 pengaduan (83,2 persen), disusul Usaha Jasa Keuangan sebanyak 96 pengaduan (6,4 persen), sarana perhubungan sebanyak 37 pengaduan (2,5 persen), PLN sebanyak 28 aduan (1,9 persen) dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebanyak 23 aduan (1,5 persen).
Pemerintah Jangan Panas Kuping
Amzulian mengatakan, dalam menanggapi aduan masyarakat, pemerintah, baik pusat maupun daerah, jangan sampai panas kuping. Dia pun mengimbau masyarakat agar tidak takut melaporkan dugaan maladministrasi ke Ombudsman.
Pengaduan kepada Ombudsman bukan hanya dalam upaya memperbaiki birokrasi yang ada. Tetapi juga hak untuk mengadukan itu dijamin oleh undang-undang kita. Karena tentu saja negara ini memberikan proteksi yang sepatutnya kepada anggota masyarakat yang menuntut hak-haknya, Amzulian menggarisbawahi.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy yang fokus mengawasi bansos, mengatakan, program ini memang terkendala pendataan.
“Karena memang pemerintah punya data sebelum Covid hingga ketika Covid datanya terus bertambah. Sulit untuk mengkonsolidasikan data dalam waktu yang bersamaan,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Masalah data itu menyebabkan orang yang berhak malah tidak mendapat bantuan. Saat diadukan, ujar Suaedy, ada sejumlah oknum pejabat daerah yang mudah tersinggung. Dia mencontohkan, ada seorang penduduk di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang tidak mendapat bansos meski sebetulnya berhak. Ombudsman pun meneruskan aduan itu ke Pemda. Aduan itu disertai nama pengadu, karena yang bersangkutan tidak meminta namanya dirahasiakan.
"Kami dengan niat baik berharap bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menerima dengan baik. Ternyata ada yang panik, dan kemudian memanggil pelapor ke pendopo, dan kemudian diinterogasi dengan banyak pejabat,” ungkapnya.
Pemanggilan itu berakhir dengan baik. Pemda akhirnya menyadari bahwa laporan tersebut wajar dan pelapor memang berhak mendapat bantuan.
Meski begitu, Suaedy menegaskan, sikap sejumlah oknum pejabat perlu diperbaiki.
"Kadang-kadang masih ada arogansi. Saya kira ini yang mungkin harus kita perbaiki. Bukan hanya dalam situasi Covid tapi juga ke depan. Kita melihat bahwa masih ada pejabat pelayanan publik yang merasa harus dilayani atau merasa benar sendiri.”
Selain masalah bansos, Ombudsman juga menerima pengaduan terkait penahanan paspor WNI yang baru pulang dari luar negeri, mahalnya tarif tes Polymerase Chain Reaction (PCR), kurang transparannya pihak rumah sakit dalam memberikan hasil tes PCR, serta kenaikan tagihan listrik. [rt/ka]