Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, dalam konferensi pers secara daring, Minggu (28/6), mengatakan berdasarkan data, ada 397 orang penyelenggara negara/pemerintahan yang terindikasi merangkap jabatan komisaris di BUMN dan 167 orang di anak perusahaan BUMN pada 2019.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 254 atau 64 persen adalah pejabat kementerian, sebanyak 112 orang atau 28 persen adalah pejabat lembaga non-kementerian, dan sebanyak 31 orang atau delapan persen adalah pejabat dari perguruan tinggi. Data-data tersebut masih terus diverifikasi ulang berdasarkan status keaktifannya saat ini.
Selain rangkap jabatan, kata Alamsyah, Ombudsman juga mendapati indikasi rangkap penghasilan. “Ini nanti yang akan menjadi satu catatan Ombudsman. Kita nanti perlu memperbaiki hal-hal yang sifatnya fundamental. Tampaknya tidak bisa diserahkan ke menteri. Ini harus ada di tangan presiden,” imbuh Alamsyah.
Untuk instansi asal kementerian, ada lima kementerian yang mendominasi hingga 58 persen, yaitu Kementerian BUMN sebanyak 55 orang, Kementerian Keuangan sebanyak 42 orang, Kementerian Perhubungan dan Kementerian PUPR masing-masih sebanyak 17 orang, dan Kementerian Sekretaris Negara sebanyak 16 orang.
Untuk instansi asal Lembaga Non Kementerian, 65 persen didominasi oleh lima instansi, yaitu TNI (27 orang), POLRI (13 orang), Kejaksaan (12 orang), Pemda (11 orang), BIN (10 orang) dan BPKP (10 orang). Sedangkan untuk instansi asal perguruan tinggi, tercatat seluruhnya berasal dari 16 perguruan tinggi dengan terbanyak dari Universitas Indonesia (9 orang) dan disusul Universitas Gajah Mada (lima orang).
Yang mengejutkan, kata Alamsyah, Ombudsman menemukan empat pejabat dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terindikasi merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN di 2019.
“Apakah kita masih mau berargumen bahwa kita adalah negara yang mampu menjaga etika di sini? Mungkin bapak dan ibu bisa berpikir ulang apakah betul sampai lembaga pengawas pun, lembaga penegak hukum harus jadi komisaris,” ujar Alamsyah Saragih.
Menjawab pertanyaan wartawan, Alamsyah menegaskan gejala rangkap jabatan komisaris BUMN dan anak perusahaan BUMN itu masih berlanjut hingga 2020, mayoritas yang merangkap jabatan adalah pejabat negara/pemerintahan yang masih aktif.
Pada 2019, Indonesia memiliki 142 BUMN yang bergerak di berbagai sektor. Pendapatan negara dari BUMN di 2019 mencapai 210 Triliun Rupiah, namun 76 persen dari pendapatan tersebut disumbangkan hanya oleh 15 BUMN.
Potensi Benturan Regulasi
Ombudsman menjelaskan larangan rangkap jabatan itu telah diatur dalam peraturan Pasal 17 Huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pelayanan Publik. Aturan itu menegaskan pelaksanaan pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah (BUMD).
Begitu pula Pasal 47 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
“Menjadi komisaris di BUMN (adalah) jabatan sipil, tapi kemudian di-counter bahwa TNI boleh duduk di tempat-tempat seperti itu karena bagian dari fungsi lain TNI,” papar Alamsyah.
Menurut Alamsyah, yang diatur dalam UU TNI adalah operasi militer non-perang. Itu pun harus ditetapkan BUMN mana yang relevan dengan pertahanan nasional.
Kepala Biro Humas dan Teknologi Informasi Ombudsman RI, Wanton Sidauruk dalam kesempatan yang sama menambahkan paling tidak ada delapan isu krusial yang perlu dibenahi, yaitu benturan regulasi, konflik kepentingan, penghasilan ganda, masalah kompetensi, jual beli pengaruh, proses yang diskriminatif, transparansi penilaian dan akuntabilitas kinerja.
Your browser doesn’t support HTML5
“Tentu ini berujung pada satu pertanyaan kompetensi para komisaris yang ditunjuk. Dan juga ini mengarah kepada satu potensi maladministrasi. Nah, ini menjadi satu isu yang dicermati oleh Ombudsman Republik Indonesia,” jelas Wanton.
Ombudsman memandang proses rekrutmen Komisaris BUMN ini akan terus mengundang polemik kecuali pemerintah melakukan perbaikan secara fundamental. Untuk itu, terkait perbaikan hal-hal yang bersifat fundamental Ombudsman akan menyampaikan saran tertulis kepada Presiden RI, dan sejumlah masukan di tataran operasional kepada Menteri BUMN. [yl/ft]