Survei Kepatuhan Hukum 2019 oleh Ombudsman RI menyimpulkan, kepatuhan hukum dalam hal ketersediaan dokumen untuk tahap penyidikan, penuntutan, peradilan dan pemasyarakatan, secara rerata sudah tinggi. Namun dalam pemenuhan unsur dokumen secara rerata masih berada pada kepatuhan rendah.
Tingkat kepatuhan kepolisian dalam memenuhi persyaratan dokumen untuk sebuah penyidikan masih rendah. Menurut survei kepatuhan hukum yang dilakukan Ombudsman RI pada 2019, polisi rata-rata hanya memenuhi 50 persen dari 16 dokumen wajib dan dokumen fleksibel dalam tahap penyidikan.
Menurut hasil survei Ombudsman meski tingkat kepatuhan untuk ketersediaan dokumen dalam tahap penyidikan mendapat nilai tinggi, yaitu 83,39 persen, tapi tingkat kepatuhan untuk memenuhi dokumen yang dipersyaratkan tersebut rendah, yaitu 31,85 persen. Kepolisian biasanya tidak melengkapi persyaratan dokumen untuk Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan Ahli, Surat Perintah Penangkapan, Berita Acara Penangkapan, dan Surat Perintah Tugas.
Hasil survei itu memberikan nilai kepatuhan tinggi (83,39 persen) untuk ketersediaan dokumen dalam tahap penyidikan sedangkan untuk pemenuhan unsur dokumen mendapatkan nilai kepatuhan rendah (31,85 persen).
“Aspek mengenai administrasi dan aspek substansi itu harus sama pentingnya. Tidak ada bahwa aspek administrasi itu ketika misalnya kurang-kurang, lalu oke saja, ndak. Itu bahkan bisa membuat orang itu bebas demi hukum” jelas Profesor Adrianus Meliala, anggota Ombudsman RI dalam keterangan pers secara daring (25/6).
Ombudsman RI pada 2019 menggelar survei kepatuhan hukum di 11 Provinsi di Indonesia untuk melihat sejauh mana tertib administrasi dokumen dalam penyelesaian perkara pidana umum diterapkan oleh instansi penegak hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Teknik pengambilan data pada penelitian Survei Kepatuhan hukum 2019 dilakukan dengan memeriksa berkas perkara tindak pidana umum yang telah berkekuatan hukum tetap pada tingkat pertama, putusan pidana di atas lima tahun dan perkara putus antara 2015-2018.
Survei itu digelar di Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat. Indikator yang digunakan yaitu ketersediaan dokumen dan pemenuhan unsur dokumen mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, peradilan dan pemasyarakatan.
“Kadang-kadang ada nama yang salah. Ada pemberitaan di media bahwa salah nama, salah umur. Bahkan kadang salah identitas seseorang untuk dimasukkan ke dalam administrasi seumpama surat perintah tugas. Harusnya menangkap A tapi menangkap B,” kata Dhurandhara Try Widigda, Keasistenan Utama Substansi III, menjelaskan hasil penilaian tahap penyidikan berdasarkan lokasi di daerah.
“Ada tiga Polda yang masih perlu meningkatkan kinerjanya khususnya dalam penyediaan dokumen, yaitu Palu (Sulawesi Tengah), Kendari (Sulawesi Tenggara) Dan Gorontalo,” tambahnya.
Sementara untuk tahap penuntutan, Kejaksaan Negeri mendapat nilai tingkat kepatuhan tertinggi dari aspek ketersediaan dokumen dan kepatuhan sedang, yaitu 70,62 persen untuk pemenuhan dokumen.
Untuk peradilan mendapatkan penilaian tingkat kepatuhan tinggi, baik untuk ketersediaan dokumen dan pemenuhan unsur dokumen, yaitu masing-masing 100 persen dan 83,39 persen.
Yang terakhir untuk tahap pemasyarakatan mendapatkan nilai kepatuhan tinggi, yaitu 86,36 persen dan tingkat kepatuhan sedang dari sisi pemenuhan unsur dokumen, yaitu 53,79 persen). Tingkat pemenuhan unsur dokumen dengan kepatuhan rendah di antaranya pada daftar perubahan narapidana dan berita acara pemeriksaan kesehatan tahanan/narapidana.
“Ketika mereka (tahanan/narapidana) masuk harus periksa kesehatannya apakah dia punya TBC. Mohon maaf punya HIV, atau punya penyakit-penyakit yang menular. Tentunya yang TBC tidak bisa disatukan dengan napi yang sehat,” ujar Nyoto Budianto, Kepala Keasistenan Pemantauan Perlakuan Saran Ombudsman RI.
Ombudsman menyarankan agar Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung dan Kementerian Hukum dan HAM dapat menciptakan sistem penanganan perkara tindak pidana yang terintegrasi dari tahap penyidikan di Kepolisian, penuntutan di Kejaksaan, peradilan di pengadilan, dan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. Hal itu untuk meningkatkan fungsi kontrol dalam penanganan perkara tindak pidana.
Sedangkan untuk tingkat daerah, Ombudsman menyarankan agar instansi penegak hukum memastikan penerapan peraturan perundang-undangan dan peraturan internal administrasi penanganan perkara tindak pidana umum. Serta memprioritaskan peningkatan pemenuhan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan peraturan internal administrasi penanganan perkara tindak pidana umum.
Berdasarkan data 2015-2018, Ombudsman RI menerima sebanyak 5.844 laporan masyarakat yang melaporkan instansi penegak hukum. Laporan masyarakat terkait kepolisian berjumlah 4.158, Kejaksaan 383 laporan, Peradilan 1.175 laporan dan Lembaga Pemasyarakatan 128 laporan. [yl/ft]