Jumlah ibu melahirkan yang meninggal di DIY cukup tinggi. Kadang, tragedi ini disebabkan layanan persalinan yang buruk.
Hari Kamis malam, Eliyanto mengundang puluhan tetangga rumahnya di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk berdoa bersama. Dia sedang memperingati tujuh hari meninggalnya istri dan anaknya, yang meninggal berurutan di sebuah rumah sakit seminggu lalu. Meski merasa berat, lelaki 23 tahun itu mencoba ikhlas.
“Puskesmas yang terdekat memang itu. Sudah beberapa orang tetangga saya juga melahirkan disana. Sejauh ini, saya sudah mengikhlaskan agar arwah istri dan anak saya tenang di sana, karena menurut saya ini sudah menjadi takdir, jadi saya ikhlas. Saya berharap istri dan anak saya ditempatkan di sisi Tuhan. Setelah ini, yang penting saya menjalani apa yang ada. Ini semua sudah digariskan, jadi saya menerima yang terjadi biar arwah istri dan anak saya tenang,” kata Eliyanto.
Kematian istri Eliyanto, Puji Lestari, 20 tahun, sedang menjadi perhatian masyarakat Yogyakarta. Semua bermula ketika Jumat minggu lalu menjelang tengah malam, almarhumah Puji merasa bayinya akan segera lahir. Pasangan ini menuju ke Puskesmas Dlingo I, yang paling dekat dengan rumah mereka. Petugas yang berjaga mengatakan, bayinya belum akan lahir dan keduanya diminta pulang.
Sabtu pukul 02.00 dini hari, Puji kembali mengalami kontraksi dan Eliyanto segera membawanya kembali ke Puskesmas. Ketika itulah, bidan yang bertugas menyatakan tidak sanggup melayani karena kurangnya peralatan. Puji dirujuk ke rumah sakit. Tetapi rujukan itu tanpa surat resmi, dan bahkan tanpa dibantu dengan ambulans yang terparkir di halaman Puskesmas.
Tak mungkin membawa istrinya yang kesakitan dengan sepeda motor, Eliyanto mencari bantuan tetangga yang memiliki mobil bak terbuka. Puji berbaring kesakitan di bagian belakang. Perjalanan terhambat hujan yang turun, dan mereka baru sampai di rumah sakit dua jam kemudian. Dokter yang menerima mereka mengatakan, sang bayi sudah meninggal. Puji yang tak kuasa menahan sakit, akhirnya turut berpulang pukul 11.15 Sabtu siang.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Yogyakarta sedang melakukan investigasi atas kasus ini. Menurut Nugroho Andriyanto, dari ORI, lembaganya memang belum bisa mengambil kesimpulan yang lengkap. Tetapi sudah diperoleh informasi mengenai beberapa titik kesalahan dan pelanggaran terhadap ketentuan layanan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat.
“Yang pertama, petugas tidak membuat rujukan resmi. Kemudian yang kedua, bidan tidak mengkomunikasikan atau mengkoordinasikan rujukan itu ke rumah sakit yang akan dituju. Yang ketiga, petugas Puskesmas juga tidak mengantarkan pasien menggunakan fasilitas ambulans ke rumah sakit,” kata Nugroho Andriyanto.
Nugroho menambahkan, ORI melakukan investigasi hingga ke pemerintah daerah untuk memahami kesalahan prosedur yang terjadi. Diharapkan kejadian semacam ini tidak terulang kembali.
Angka kematian ibu melahirkan di Yogyakarta tahun 2016 mencapai 38 kasus, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 29 kasus. Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, Sutarti dari Dinas Kesehatan DIY mengatakan, sekitar 45 persen kematian diakibatkan oleh penyebab langsung. Yang termasuk penyebab langsung adalah pendarahan, preeklamsia, dan infeksi.
“Kami terus melakukan penelitian, apa sebenarnya yang menjadi penyebab kejadian ini. Apakah karena terlambat dalam pengambilan keputusan untuk dibawa ke RS ataukah ibu melahirkan itu terlambat mendapat pertolongan di fasilitas kesehatan,” kata Sutarti.
Pemerintah Kabupaten Bantul, Yogyakarta berjanji akan melakukan evaluasi atas tragedi ini. Kepada media petugas Puskesmas mengatakan, mobil ambulans bebas dipakai untuk keperluan masyarakat. Namun, tidak diketahui apa yang terjadi pada malam itu sehingga Puji tidak dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans.
Kepala dinas Kesehatan Bantul, Maya Sintowati Pandji kepada wartawan mengakui kinerja Puskesmas perlu ditingkatkan. Dia menilai, petugas di fasilitas kesehatan itu tidak cukup memberi perhatian kepada pasien dengan tidak dipakainya ambulans yang tersedia.
Your browser doesn’t support HTML5
“Ada beberapa hal yang perlu dioptimalkan di Puskesmas. Saya harus memberikan sanski karena petugas tidak memahami kondisi ini,” kata Maya Sintowati Pandji.
Akhir tahun 2015 lalu, sekelompok warga di Bantul, Yogyakarta merusak sebuah Puskesmas. Pasalnya, ada tiga kejadian berturut-turut dalam satu pekan. Tiga warga sakit membutuhkan ambulans namun tidak diizinkan, sehingga ketiganya meninggal dunia. Petugas berkilah ambulans hanya bisa dipakai dengan seizin kepala Puskesmas. Padahal kepala Puskesmas tidak ada di kantornya.
Masih di tahun 2015, dua buah ambulans di Puskesmas lain di Bantul dilempar bom molotov, setelah beberapa hari sebelumnya, warga yang ingin meminjam untuk membawa pasien ke rumah sakit, ditolak petugas setempat. [ns/ab]