Anggota koalisi delapan partai Thailand yang memenangkan mayoritas kursi pada pemilihan umum 14 Mei lalu telah secara resmi setuju untuk bekerja sama. Mereka membeberkan sejumlah kebijakan baru untuk memimpin pemerintahan berikutnya.
Dipimpin Partai Move Forward (MFP), alias Bergerak Maju, kedelapan partai menandatangani nota kesepahaman, yang terdiri dari hampir dua lusin syarat dan ketentuan yang akan mereka patuhi, termasuk tim-tim yang akan mengatasi perselisihan di antara partai-partai.
Penandatanganan perjanjian koalisi itu dilakukan pada peringatan kudeta militer Thailand pada tahun 2014.
Pengumuman Nota Kesepahaman
Dalam konferensi pers hari Senin (22/5) yang dipadati hadirin di Hotel Conrad, Bangkok, ketua MFP Pita Limjaroenrat menandatangani perjanjian bersama tujuh pemimpin koalisi lainnya, menyebutkan 23 poin yang mereka sepakati akan dicapai, sambil menyebut negosiasi itu “berhasil, komprehensif dan merupakan permulaan yang baik.”
“Hari ini adalah tentang persiapan, sebagai persiapan yang baik, bahwa kami harus bekerja sama ke depannya untuk mengumumkan kebijakan-kebijakan kami setelah saya menjadi perdana menteri. Jadi, hari ini hanyalah langkah pertama. Akan ada banyak langkah lanjutan segera, dan itu mungkin akan lebih banyak menjelaskan bagaimana perubahan akan dilakukan,” kata Limjaroenrat kepada wartawan.
BACA JUGA: Aliansi Thailand Targetkan Reformasi Ambisius Tapi Tidak Masukkan UU Menghina KerajaanPartai-partai lain yang tergabung dalam koalisi itu antara lain Pheu Thai, Prachachat, Thai Sang Thai, Seri Ruam Thai, Fair, Pue Thai Rumphlang dan Plung Sungkom Mai.
MFP memenangkan 152 kursi dalam pemilu, mengalahkan partai-partai konservatif dan yang didukung militer. Mematahkan anggapan bahwa MFP hanya memiliki basis pemilih besar di daerah-daerah perkotaan, di mana terdapat banyak mahasiswa, di ibu kota Bangkok, partai itu menang telak dengan memperoleh 32 dari 33 kursi konstituen.
Meski demikian, karena struktur parlemen Thailand yang terdiri 750 anggota, maka mayoritas suara, 376 kursi, diperlukan untuk memilih perdana menteri dan membentuk pemerintahan baru. Karena MFP tidak memenangkan cukup kursi untuk bisa melakukannya, maka aliansi itu dibentuk. Ketujuh partai dalam koalisi itu menyumbang 161 kursi, sehingga total terdapat 313 kursi di pemerintahan.
Nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani MFP dan tujuh partai lainnya menjadi sebuah catatan pertanggungjawaban.
MOU itu menyatakan bahwa semua partai sepakat untuk tidak memengaruhi status Thailand sebagai sebuah negara – sebuah demokrasi di bawah monarki konstitusional – maupuan status kerajaan itu sendiri.
Tercakup dalam daftar 23 kebijakan itu antara lain fokus untuk memulihkan demokrasi dan rancangan konstitusi baru; meloloskan RUU kesetaraan pernikahan; reformasi kepolisian, militer, dan proses peradilan; membangkitkan perekonomian; dan memberantas korupsi. Koalisi oposisi itu juga berharap dapat mengembalikan peran geopolitik Thailand dan mengakhiri “diplomasi sunyi”-nya.
Penggolongan ganja sebagai zat yang dikendalikan juga terdapat dalam daftar itu, meski Thailand sudah mendekriminalisasi penggunaan ganja pada Juni 2022. Diakhirinya wajib militer di Thailand juga dicatat, mengingat itu adalah salah satu janji MFP dalam kampanye.
Lese-Majeste
Satu kebijakan yang belum disepakati partai-partai itu adalah amandemen undang-undang lese-majeste Thailand, yang mengatur hukuman terhadap pengkritik kerajaan Thailand. Peraturan itu tercantum dalam Pasal 112 KUHP Thailand dengan ancaman hukuman penjara yang lama bagi pelaku. Amandemen lese-majeste adalah janji utama kampanye MFP.
Sedikitnya dua partai koalisi menolak mendukung amandemen apa pun terhadap kerajaan. Ketua Partai Pheu Thai, Cholnan Srikaew, mengatakan bahwa tidak dimasukkannya gagasan tersebut demi menghindari rintangan terhadap pembentukan koalisi, menurut media setempat.
Namun Pita Limjaroenrat mengatakan, hanya tinggal menunggu waktu sebelum partainya mengajukan RUU amandemen tersebut. [rd/ka]