Protes yang digelar 1 Oktober lalu membawa misi yang sama dengan demonstrasi yang dilangsungkan pertengahan September lalu. Mereka menentang kurikulum baru yang disusun Kementerian Pendidikan Israel yang menurut mereka menghadirkan buku-buku teks yang menutupi fakta.
Para demonstran menawarkan kurikulum sendiri – yang mereka sebut kurikulum Palestina – sebagai penggantinya, yang selama ini sebenarnya sudah diterapkan.
Um Yazan Ajlouni adalah salah seorang ibu yang berpartisipasi dalam aksi protes yang digelar di luar Sekolah Dasar Iman di lingkungan Beit Hanina. Ia menilai, kurikulum Israel mengacaukan sejarah Palestina.
“Mengapa? Karena kurikulum Palestina mewakili kami, mewakili warisan kami, agama, sejarah serta akidah Islam kami, di mana kami dibesarkan. Kami tidak mau menerima kurikulum lain yang mengubah semua itu. Kedua, distorsi sangat jelas untuk semuanya, jadi saya tidak ingin anak-anak saya mempelajari kurikulum Israel, saya hanya ingin mereka mempelajari kurikulum Palestina," katanya.
Aksi protes ini mendapat sorotan media sosial. Sejumlah foto dan video yang diposkan online menunjukkan, para orang dan murid Palestina mengusung spanduk-spanduk dengan slogan-slogan seperti "Tolak Israelisasi Pendidikan."
Media-media sosial juga mengungkap bagian-bagian yang dihapus dari buku-buku teks yang termasuk dalam kurikulum Israel, mencakup penggalan puisi yang menyebut pos pemeriksaan Israel dalam sebuah buku berbahasa Arab; ilustrasi kunci -- simbol pengungsi Palestina -- dari buku matematika; dan sebuah paragraf tentang perjanjian yang memisahkan Timur Tengah dari buku geografi.
Ali Farrah, seorang mahasiswa Palestina, mengungkapkan, pentingnya aksi aksi protes yang mereka gelar.
“Kami menggelar protes karena kami berhak mendapatkan kurikulum Palestina. Israel mencoba memaksakan kurikulum yang menyimpang. Kurikulum Israel mengabaikan masalah pengungsi dan tahanan, itu juga upaya untuk mengubah identitas Arab kami, kami ingin kurikulum Palestina," ujarnya.
BACA JUGA: Melonjak, Pengunjung Situs Berbahasa Arab Perpustakaan IsraelIsrael mengatakan buku-buku teks Palestina berisi konten yang menghasut Israel dan pasukan keamanannya. Juli lalu, Israel bahkan sempat mengancam akan mencabut lisensi Sekolah Dasar Iman dan lima sekolah lainnya jika tidak segera mengadopsi kurikulum Israel.
Israel merebut Yerusalem Timur pada tahun 1967 dan kemudian mencaploknya dalam sebuah langkah yang tidak diakui internasional. Orang-orang Palestina, yang merupakan 38% dari populasi di Yerusalem mengupayakan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina pada masa depan yang akan mencakup Tepi Barat dan Gaza yang diduduki Israel.
Your browser doesn’t support HTML5
Upaya berturut-turut sejak 1967 untuk memperkenalkan kurikulum Israel di sekolah-sekolah Yerusalem Timur dihalangi oleh para orang tua dan guru. Beberapa bagian dari kota itu bahkan secara terang-terangan mengadopsi kurikulum Palestina pada 1990-an.
Menteri Pendidikan Israel Yifat Shasha-Biton menulis di Twitter bulan lalu bahwa sekolah-sekolah di sana "yang menggambarkan tentara Israel sebagai pembunuh dan mengagung-agungkan para teroris “harus segera memperbaiki konten buku-buku teks mereka" atau kehilangan lisensi mereka. [ab/ka]