Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Sally Aman Nasution membantah rokok elektrik lebih aman dibandingkan dengan rokok konvensional.
Menurutnya, sejumlah bukti ilmiah menunjukkan rokok elektrik dapat menyebabkan penyakit baru, jantung, kanker darah dan kanker lainnya. Di samping itu, rokok elektrik juga dapat mempengaruhi sistem imun seseorang. Karena itu, Sally mendorong pemerintah melarang peredaran rokok elektrik di Indonesia.
BACA JUGA: Studi: Rokok Elektrik Terkait Penyakit Paru-paru Langka"Dan kemudian proses degeneratif, jadi penyakit-penyakit yang harusnya muncul di usia 50-60 lebih cepat munculnya. Ini dampaknya ke depan selain kualitas bangsa adalah biaya yang akan ditanggung pribadi atau negara dalam pelayanan kesehatan," jelas Sally Aman Nasution saat berdiskusi di kantor Kemenkes, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Sekretaris Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Catharine Mayung Sambo menambahkan konsumsi rokok elektrik juga dapat menghambat perkembangan otak dan kecerdasan anak. Menurutnya, hal ini semakin mengkhawatirkan jika melihat kecenderungan prevalensi merokok pada kelompok anak dan remaja. Ini terlihat dalam Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan yang menunjukkan peningkatan prevalensi merokok penduduk usia 18 tahun yang meningkat dari 7,2 persen pada 2013, menjadi 9,1 persen pada 2018.
"Dan bayangkan apabila yang terpapar adalah ibu hamil. Kalau itu langsung sampai ke janinnya, karena tentu plasenta itu membawa darah dari ibu untuk diberikan ke darah bayi. Dan dengan demikian masuk lah ke dalam bayinya," jelas Mayung.
Sejumlah organisasi lain yang juga mendorong larangan peredaran rokok elektronik antara lain Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular dan Komnas Pengendalian Tembakau. Mereka berpandangan larangan tersebut dapat dilakukan dengan koordinasi lintas kementerian seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kominfo, dan sektor terkait lainnya.
Di samping itu, menurut mereka, pelarangan tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Termasuk di antaranya sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo yakni sumber daya manusia yang unggul.
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan Kemenkes Alexander K. Ginting akan menampung masukan dari berbagai organisasi dokter tentang larangan rokok elektrik. Menurutnya, kementeriannya memiliki kekhawatiran yang sama dengan para organisasi dokter terhadap dampak rokok elektrik.
"Gerakan moral ini harus menjadi gerakan bersama. Kementerian Kesehatan tidak bisa berjalan sendiri dan harus didukung oleh berbagai sektor-sektor lainnya," jelas Alexander.
Sedangkan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Cut Putri Arianie menjelaskan lembaganya tidak memiliki kewenangan dalam pelarangan peredaran rokok elektrik. Pasalnya, Kemenkes hanya menangani dampak dari konsumsi rokok baik yang konvensional dan elektrik.
Namun, ia mengingatkan kembali kepada pemerintah daerah bahwa ada kewajiban penetapan kawasan tanpa rokok seperti yang tertuang dalam Pasal 115 UU Kesehatan. Adapun kawasan tersebut antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain.
BACA JUGA: WHO Serukan Perketat Penggunaan Rokok Elektrik"Kami meminta kawasan tanpa rokok di tujuh wilayah yaitu fasilitas pelayanan kesehatan, tempat ibadah, tempat belajar mengajar, tempat bermain anak, angkutan umum, fasilitas umum dan tempat lain yang ditetapkan," ujar Cut Putri.[sm/ft]