Organisasi Internasional yang mempromosikan hak asasi manusia (HAM), Amnesty International mengkritik penahanan terhadap seseorang yang dituduh melakukan penodaan agama oleh pihak berwenang Indonesia.
Direktur Riset Amnesty Internasional untuk Asia Tenggara, Ruppert Abbot mendesak pemerintahan Joko Widodo, mencabut Undang-undang (UU) Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama karena dinilai telah menyumbang iklim intoleransi di Indonesia.
"Kami fokus pada undang-undang penodaan agama. Dan undang-undang itu harus dicabut. Pemerintahan baru harus dapat mengakhiri kriminalisasi keyakinan lewat UU Penodaan Agama yang bersifat menindas ini. UU Penodaan Agama di Indonesia ini menantang hukum dan standar-standar hukum international. Tapi kita sadar bahwa mencabut undang-undang itu perlu waktu perlu proses. Dan ini ada di luar kewenangannya eksekutif," kata Ruppert Abbot.
Ruppert Abbot, menyatakan sejak 2004 Amnesty International mencatat setidaknya 106 individu yang diadili dan dijatuhi hukuman menggunakan UU Penodaan Agama. Mereka kebanyakan berasal dari agama minoritas atau keyakinan tertentu.
Dalam laporan ini juga menyebut penggunaan UU Penodaan Agama meningkat di 2 periode masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), dibanding dengan pemerintahan sebelumnya. Kasus-kasus penodaan agama menurut Ruppert hampir semuanya diajukan di tingkat lokal daerah.
Dari catatan Amnesty, aktor-aktor politik, kelompok garis keras yang mengatasnamakan Islam, dan aparat keamanan kadang berkolusi untuk menyasar para kelompok minoritas.
Sebagian besar kasus menunjukkan, banyak individu atau kelompok minoritas justru malah ditangkap dan ditahan oleh aparat keamanan setelah mereka diganggu atau diserang oleh kelompok garis keras yang mengatasnamakan agama mayoritas.
Untuk itu, Amnesty Internasional tegas Ruppert, mendesak Pemerintahan Joko Widodo untuk segera membebaskan tanpa syarat orang-orang yang ditangkap dan ditahan karena UU Penodaan Agama.
"Yang lainnya adalah, kita menyerukan kepada eksekutif dalam hal ini Presiden Jokowi, untuk segera dan tanpa syarat membebaskan mereka yang ditahan dan dipenjara karena undang-undang penodaan agama. Ini masih menjadi kewenangan Presiden. Yang lain adalah kita berharap janji-janji dan komitmen yang dibuat Jokowi bisa dijalankan," lanjut Ruppert.
Peneliti senior Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menyambut baik pesan yang disampaikan Amnesty Internasional terhadap pemerintahan Joko Widodo. Apalagi menurutnya dalam waktu dekat Kementrian Agama akan menyusun UU Perlindungan Agama.
"Ada harapan sebetulnya karena kementrian agama mau membuat rancangan undang-undang perlindungan umat beragama. Kita berharap RUU nanti selain mengatur soal apa yang harus dilakukan negara dalam memberikan perlindungan warganegara dalam kebebasan beragama," kata Bonar Tigor Naipospos. "Tapi juga mencabut pasal-pasal penodaan agama dan kemudian mengadopsi headspeech crime sebagai tindakan pidana untuk mencegah supaya tidak terjadi provokasi, kebencian apalagi kekerasan terhadap mereka yang beragama lain," lanjutnya.
UU penodaan agama disahkan oleh Presiden Sukarno pada 1965. Produk perundangan ini dibuat untuk mengakomodasi permintaan organisasi-organisasi islam untuk melarang aliran kepercayaan lokal yang dinilai bisa menodai agama-agama di Indonesia.
Kasus Syiah Sampang
Direktur Riset Amnesty Internasional untuk Asia Tenggara, Ruppert Abbot menambahkan, UU Penodaan Agama yang berakibat pada ketidakbebasan individu untuk menjalankan keyakinan mereka, diantaranya kasus yang terjadi pada Tajul Muluk di Sampang Madura.
Setidaknya 186 anggota komunitas syiah Tajul Muluk termasuk 51 anak-anak berada di sebuah fasilitas tempat tinggal sejak Agustus 2012, setelah desa mereka diserang oleh gerombolan massa anti Syiah.
Pemerintahan SBY sebelumnya telah mengupayakan pemulangan terhadap komunitas ini ke kampung halamannya secara bertahap, namun proses itu dijalankan tidak secara maksimal oleh pemerintah daerah setempat dengan alasan komunitas itu sudah tidak lagi diterima oleh masyarakat sekitar.
Kuasa hukum Tajul Muluk, Asvinawati menjelaskan, perangkat pemerintah di daerah terus melakukan provokasi terhadap masyarakat agar komunitas syiah. "Mereka ini tidak ada masalah sebetulnya untuk kembali pulang. Tapi lagi-lagi ada ujaran kebencian yang terus diproduksi terus-menerus. Di pengadilan ada seorang saksi dari pelaku pembakaran rumah Tajul Muluk yang mengatakan bahwa bupati pada saat acara Isra Miraj mengatakan orang syiah harus keluar dari Sampang. Dari situ kita bisa tau bahwa bukan masyarakat yang menolak, tapi justru hal itu diproduksi oleh elit," jelas Asvinawati.
Amnesty International adalah sebuah organisasi non-pemerintah International dengan tujuan mempromosikan seluruh HAM yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Rights dan standar International lainnya.
Organisasi ini mengkampanyekan untuk membebaskan tawanan politik pegiat demokrasi dan HAM. Serta menentang segala bentuk pelecehan terhadap HAM, baik oleh pemerintah atau oleh grup lainnya.