Organisasi Kemanusiaan Ingatkan Bahaya Suhu Panas Ekstrem

Seorang warga tampak membenamkan kepalanya ke dalam kolam air mancur di Piazza del Popolo di Roma, Italia, di tengah gelombang panas yang melanda pada 18 Juli 2023. (Foto: Reuters/Remo Casilli)

Cuaca panas ekstrem adalah salah satu persoalan paling mematikan terkait perubahan iklim, meskipun hanya mendapat sedikit perhatian saja dibanding dampak lain yang lebih terasa, seperti badai atau banjir, ungkap dua organisasi kemanusiaan ternama dunia pada Kamis (28/3).

Tahun 2023 adalah yang tahun menurut catatan sejarah, dengan suhu yang naik berdampak khususnya terhadap populasi paling rentan, mencakup orang berusia lanjut, pekerja di luar ruangan dan mereka yang tidak memiliki akses terhadap sistem pendingin seperti penyejuk udara.

Organisasi Palang Merah dan Lembaga Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (USAID) menyampaikan peringatan mereka terhadap “pembunuh tidak terlihat” dari suhu panas ekstrem dalam sebuah KTT daring, setelah AS mengakhiri musim dingin paling hangat dalam catatan sejarahnya.

“Kami mengajak pemerintah, masyarakat sipil, anak muda dan semua pemangku kepentingan untuk mengambil langkah nyata di seluruh dunia untuk membantu persiapan negara-negara dan komunitas menghadapi cuaca panas ekstrem,” kata Jagan Chapagain, Sekretais Jenderal Federasi Palang Merah Internasional dan Masyarakat Bulan Sabit Merah.

Kepala USAID, Samantha Power, memperingatkan bahwa di AS, “suhu panas sudah lebih mematikan dibanding kombinasi badai, banjir dan tornado.”

“Kami mengajak kepada lembaga pembangunan, lembaga amal dan donor lain untuk memahami ancaman yang dimiliki cuaca panas ekstrem terhadap kemanusiaan, dan menempatkan sumber daya yang ada untuk membantu para komunitas menghadapi ancaman itu,” kata dia.

BACA JUGA: Kekeringan Timbulkan Kerugian 700 Juta Dolar AS di Terusan Panama

Menggarisbawahi upaya yang sedang berlangsung dalam menghadapi suhu ekstrem, Power mengatakan bahwa USAID telah mendukung sebuah program untuk membangun “sekolah-sekolah yang tangguh terhadap suhu panas” di Yordania, dengan menggunakan “sistem pemanasan dan pendinginan pasif, isolasi panas, jendela kaca berlapis ganda dan pendingin udara (AC).”

Dampak perubahan iklim tidak terbatas kepada wilayah-wilayah yang sudah bersuhu tinggi saat ini seperti Timur Tengah. Di Eropa, benua yang mengalami kenaikan suhu paling cepat di dunia, lebih dari 60.000 orang diperkirakan tewas akibat gelombang panas pada 2022, papar utusan AS untuk bidang iklim, John Podesta.

“Informasi dan layanan iklim, termasuk peringatan dini bisa menyelamatkan nyawa dan harta benda,” tambah dia.

“Tetapi sepertiga populasi dunia tidak memiliki akses terhadap informasi yang bisa menyelamatkan nyawa ini,” kata dia lagi.

Upaya lain termasuk yang dilakukan di Freetown, ibu kota Sierra Leone, di mana hampir satu juta pohon telah ditanam sejak 2020.

“Tetapi kita tidak bisa membiarkan pembicaraan ini menjadi alasan bagi siapapun untuk lepas dari tanggung jawab, ketika menyangkut upaya untuk menurunkan emisi,” kata Wali Kota Freetown, Yvonne Aki-Sawyerr. [ns/rs]