Majelis Umum PBB bertujuan menyediakan platform yang setara kepada para pemimpin untuk membahas isu-isu dunia yang paling mendesak, seperti kemiskinan dan perubahan iklim.
Tetapi laporan baru dari organisasi amal Oxfam mengatakan pertemuan tahunan itu dibayangi oleh apa yang disebutnya dengan istilah “oligarki global” - yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar dan superkaya.
Nabil Ahmed, direktur ekonomi dan keadilan rasial Oxfam America, mengatakan, “Mereka membentuk aturan-aturan yang menguntungkan mereka. Mereka melakukannya dengan mengorbankan orang-orang biasa. Dan itu pada gilirannya menyulut ketimpangan di dalam dan di antara negara-negara.”
Oxfam mengatakan kita hidup dalam era ketimpangan global yang ekstrem, di mana satu persen orang terkaya di dunia menguasai kekayaan lebih banyak daripada 95 persen umat manusia lainnya.
“Kita hidup di dunia di mana perusahaan-perusahaan besar, banyak di antara mereka yang pada dasarnya membayar pajak sangat kecil atau tidak sama sekali,” imbuhnya.
Brazil yang sekarang ini mendapat giliran sebagai presiden G20, ingin menetapkan pajak minimum dua persen terhadap para miliarder terkaya dunia, yang diklaimnya dapat menggalang hingga $250 miliar. Ini merupakan langkah yang didukung Oxfam dan banyak LSM lainnya.
Rencana ini didukung oleh para anggota G20 termasuk Afrika Selatan, Spanyol dan Prancis. Menteri keuangan Brazil Juli lalu mengatakan penting sekali untuk mengubah sistem pajak yang berlaku sekarang ini.
Your browser doesn’t support HTML5
Namun Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengemukakan tentangan Amerika Serikat pada sebuah pertemuan G20 Juli lalu. Katanya, “Kebijakan pajak sangat sulit untuk dikoordinasikan secara global, dan kami tidak melihat ada kebutuhan atau benar-benar berpikir ini perlu untuk mencoba merundingkan kesepakatan global mengenai itu. Kami pikir semua negara harus memastikan bahwa sistem perpajakan mereka adil dan progresif.”
Oxfam mengatakan pendapatan dari pajak di negara-negara berkembang semakin banyak digunakan untuk membayar utang ke kreditor swasta seperti bank dan dana lindung nilai (hedge funds). Organisasi itu juga menuduh perusahaan-perusahaan farmasi besar membentuk aturan terkait hak atas kekayaan intelektual yang menguntungkan para pemegang saham mereka. Oxfam mengatakan ini artinya negara-negara miskin harus berjuang untuk mengakses vaksin virus corona, meskipun miliaran dolar dana pemerintah digunakan untuk mengembangkannya.
“Itu adalah dana yang kita masukkan ke sistem pajak kita, yang memungkinkan kita mendapatkannya (vaksin). Faktanya, investasi publik selama puluhan tahun digunakan untuk mendapatkan (vaksin covid) mRNA sedari awal,” lanjut Ahmed.
Menanggapi VOA, Pfizer mengatakan perusahaan farmasi itu telah menawarkan vaksin virus corona secara gratis kepada negara-negara miskin tetapi banyak negara kaya bertindak lebih cepat untuk membeli dosis yang tersedia.
Pemimpin Pfizer juga memperingatkan bahwa hilangnya hak atas kekayaan intelektual akan menyurutkan keinginan pihak lain untuk mengambil risiko finansial besar dalam mengembangkan vaksin tersebut, suatu pandangan yang dikemukakan juga oleh perusahaan-perusahaan farmasi raksasa lainnya. [uh/ka]