Dua lembaga nirlaba, yaitu International NGO Forum on Indonesian Development atau INFID dan Setara Institute, menilai Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Ranperpres PKUB) masih berpotensi menimbulkan diskriminasi bagi kelompok minoritas. Untuk itu, mereka mengeluarkan empat poin catatan terhadap rancangan Perpres tersebut.
Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute, Sayyidatul Insiyah, mengatakan bahwa empat poin utama tersebut merupakan ringkasan dari 21 perubahan, baik meliputi perubahan redaksi maupun perubahan substansi. Ia berpendapat bahwa perubahan tersebut dapat berimplikasi pada penikmatan hak-hak konstitusional masyarakat, terutama terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sayyidatul mengatakan poin pertama yang diajukannya adalah terkait inklusi penghayat kepercayaan.Ia menuturkan putusan Mahkamah Konstitusi 2016 telah mengafirmasi kesetaraan antaragama dengan kepercayaan. Namun demikian, kata dia, diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan masih sering terjadi. Sayangnya Ranperpres PKUB yang tengah digodog pemerintah dianggap masih sangat minim dalam menyebut perihal penghayat kepercayaan.
“Untuk itu, inklusi penghayat kepercayaan harus dilembagakan melalui Ranperpres PKUB,” tukasnya dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (12/8).
Pemerintah sedang menyusun Ranperpres PKUB karena pengaturan kerukunan beragama/berkepercayaan (KUB) di Tanah Air saat ini hanya diatur dalam regulasi setingkat menteri, yaitu Pengaturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Namun pada praktiknya PBM tersebut dinilai “banyak menemui kendala di lapangan.”
BACA JUGA: Setara Institute: Kondisi Toleransi di Indonesia Masih StagnanSayyidatul mengatakan poin kedua yang menjadi catatan pihaknya terkait Ranperpres PKUB adalah terkait masalah integrasi tata kelola pemerintahan inklusif sebagai prinsip utama tugas pemerintahan kepala daerah. Menurutnya, tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif merupakan fondasi penting bagi pemajuan toleransi dan kerukunan di daerah-daerah.
Ia berpendapat usulan penting dalam Ranperpres PKUB ini perlu ditambahkan dalam beberapa pasal di antaranya pasal 1, pasal 4 dan pasal 5 yang pokoknya memuat tugas dan wewenang pemerintah daerah dalam PKUB.
Your browser doesn’t support HTML5
Poin selanjutnya, imbuh Sayyidatul, adalah soal transformasi pengaturan pendirian rumah ibadah. Data longitudinal Setara Institute mengenai pelanggaran kebebasan beragama /berkeyakinan selama 2007-2022 menunjukkan adanya 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah yang mencakup pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran dan lain sebagainya.
Ia mengatakan penolakan pendirian tempat ibadah selalu menjadi menjadi salah satu kasus dominan di antara peristiwa pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan (KBB). Hal itu dipicu ketentuan-ketentuan diskriminatif soal pendirian rumah ibadah dalam PBM 2006 di antaranya adanya keharusan dukungan 60 orang dari luar jemaat dan 90 orang dari jemaatnya sendiri.
“Oleh karena itu kami merumuskan beberapa perubahan di antaranya ada tiga poin. Pertama, penegasan bahwa sebenarnya syarat 60 orang itu dapat berasal dari agama yang sama, karena seringkali diinterpretasikan bahwa 60 orang ini harus dari luar agama jemaah yang ingin mendirikan rumah ibadah. Kemudian yang kedua, adanya sanksi bagi kepala daerah yang tidak memberikan keputusan perihal pendirian rumah ibadah dalam waktu lebih dari 90 hari. Ketiga, perluasan subjek pemohon rumah ibadah,” papar Sayyidatul.
Reformasi kelembagaan FKUB, kata Sayyidatul, juga menjadi masukan dalam Ranperpres. Dia mengatakan salah satu kemajuan mendasar yang dirumuskan dalam rancangan tersebut adalah tiadanya kewenangan FKUB untuk memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah, yang menjadi salah satu faktor penghambat pendirian rumah ibadah.
Meski demikian, ia berpendapat Ranperpres ini masih memuat norma-norma agresif berkenaan dengan FKUB. Untuk itu, lanjutnya, norma pembentukan FKUB nasional harus dihapus karena tidak memiliki urgensi fungsional yang nyata. Di samping itu, pengaturan syarat anggota FKUB yang masih lemah perlu ditinjau ulang, dan penguatan pembinaan anggota serta penambahan wewenang FKUB.
Sementara itu Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Wawan Junaidi mengatakan usulan yang disampaikan oleh Setara Institute dan INFID mempunyai “ruh” yang sama dengan apa yang ada Raperpres.
“Ini adalah salah satu yang diwanti-wanti oleh menteri agama untuk selalu menyerap aspirasi para pemangku kepentingan. Jadi draf yang masuk ke Kemenkumham itu ketika masuk tahap harmonisasi, itu sudah hasil pembahasan dengan majelis-majelis agama,” kata Wawan, Sabtu (12/8).
Menurutnya, semangat rancangan perpres tersebut adalah memfasilitasi umat beragama agar bisa beribadah dan mempermudah dalam pendirian rumah ibadah. [fw/ah]