Pakar Hukum Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

  • Petrus Riski

Diskusi Pro Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. (Foto:VOA/Petrus Riski)

Sejumlah pakar hukum dan aktivis hak asasi manusia mendesak segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang dinilai dapat memberi jaminan penuh dan perlindungan pada setiap orang yang berpotensi menjadi korban kekerasan seksual, yang kasusnya kini terus meningkat.

Seorang remaja disabilitas di Lampung Selatan diperkosa secara bergilir selama setahun terakhir ini oleh ayah dan kedua abangnya. Sementara di Manokwari, seorang siswa sekolah dasar diperkosa orang tak dikenal ketika hendak pulang sekolah. Kejadian-kejadian ini terjadi hampir setiap hari, selain fenomena pelecehan dan kekerasan seksual lain sebagaimana yang dialami Baiq Nuril di NTB, atau para penumpang perempuan di Mamuju, Sulawesi Barat. Itulah sebabnya para pakar hukum dan HAM menilai pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Sebagian masyarakat memang masih menganggap undang-undang ini bertentangan dengan nilai-nilai agama serta budaya masyarakat tertentu. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Dwi Rahayu Kristianti mengatakan, penolakan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didasari kurangnya pemahaman tentang isi undang-undang itu, serta beredarnya informasi yang tidak benar mengenai RUU itu.

“Kurangnya memahami isi RUU-nya, jadi mungkin belum dibaca sudah menolak karena omongan katanya, katanya, katanya. Lalu kemudian yang kedua, itu karena memang di sini banyak sekali hal-hal yang status quo, tapi kemudian banyak dirombak, jadi harus direkonstruksi. Contohnya kalau misalkan kita ngomong tentang kekerasan seksual, eksploitasi seksual, termasuk di situ yang namanya pembeli daalam prostitusi itu bisa dikenakan,” kata Dwi Rahayu Kristianti, kepada VOA.

Your browser doesn’t support HTML5

Darurat Kekerasan Seksual, Pakar Hukum Desak Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Dwi Rahayu Kristianti yang juga Aktivis Human Rights Law Studies (HRLS) Universitas Airlangga Surabaya menambahkan, keberadaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan atau kasus kekerasan seksual yang masih cukup tinggi. Data Komnas Perempuan menyebutkan, angka kekerasan seksual pada 2017 mencapai 355.062 kasus, atau meningkat dibandingkan tahun 2016 sebayak 259.150 kasus.

Dwi Rahayu mengatakan, kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini merupakan fenomena puncak gunung es, karena kasus yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih tinggi dari kasus yang dilaporkan. Tingginya angka ini tidak lepas dari ketimpangan relasi kuasa, budaya patriarki yang masih kuat, penegakan hukum yang lemah dan bias gender, serta adanya pembiaran atau pemakluman terhadap perilaku itu di masyakat.

“Jadi, sebenarnya kalau misalkan dibilang urgent, menyurut saya itu sudah waktunya, kenapa karena saya melihat kasus kekerasan seksual itu lebih kepada fenomena puncak gunung es. Kalau tadi sudah dilihat data-datanya bahwa banyak yang tidak melaporkan dengan berbagai macam alasan, mulai dari riber, malu, dan segala macamnya. Jadi kalau buat saya itu berarti sudah fenomena gunung es, dan kalau misalkan dikatakan 'kenapa kok malas untuk ngurusin?', karena memang mulai dari lembaga aparat kepolisiannya, lalu kemudian ke pengadilan, memang itu semuanya masih bias gender. Nah, dengan adanya RUU ini, dengan kalau dia disahkan sampai jadi Undang-undang, saya merasa bahwa disitu harusnya ada perbaikan-perbaikan,” terang Dwi Rahayu Kristianti.

Pakar hukum dari Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) Surabaya, Wahyu Krisnanto mengatakan, kekerasan seksual juga banyak dialami masyarakat yang berada di ruang publik, yang perilaku dan pelakunya tidak dapat dijerat oleh hukum. Catatan Komnas Perempuan juga menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang publik, yakni dari 3.092 kasus pada tahun 2017 menjadi 3.528 kasus pada tahun 2018 di ranah komunitas.

“Salah satu saja yang bermasalah itu adalah kekerasan seksual di ruang publik, itu yang dari KUH Pidana juga tidak bisa dijerat, dari Undang-undang yang lain pun juga tidak bisa dijerat. Kalau di ranah komunitas, masih bisa. Contohnya, misalnya, kalau siulan, siulan itu yang mengarah pada hal yang bersifat seksual, itu sementara ini tidak bisa dijerat, atau tatapan mata itu tidak ada, padahal itu adalah langkah pertama untuk mencapai pada langkah-langkah berikutnya yang bersifat perkosaan tadi, ucapan, termasuk juga colekan tubuh, rabaan dan sebagainya itu tidak bisa,” ungkap Wahyu Krisnanto.

Sementara itu pakar hukum yang juga sosiolog di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Anis Farida mengatakan, maraknya kasus kekerasan seksual terutama pada perempuan, disebabkan perspektif laki-laki yang menempatkan perempuan pada level kedua di bawah laki-laki. Pola pandang seperti itu kata Anis, menjadikan perempuan korban kekerasan seksual di masyarakat yang kebanyakan menganut budaya patriarki.

Pakar hukum, aktivis HAM dan mahasiswa usai diskusi mengenai pro kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya (Foto:VOA/Petrus Riski).

“Perempuan ini bukan yang utama di dunia ini, sehingga dia dalam perspektif para lelaki yang kemudian menempatkan perempuan sebagai seks yang kedua ini, berhak untuk menjadikan perempuan ini sebagai objek, tidak menghargai perempuan selayaknya dengan harkat martabat yang seharusnya sama atau setara antara laki-laki dan perempuan,” papar Anis Farida.

Dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Anis menekankan pentingnya perempuan untuk berani bersuara terhadap perilaku kekerasan seksual dalam bentuk apapun, sehingga menjadi budaya masyarakat yang sadar akan pentingnya penghormatan harkat dan martabat manusia yang setara.

“Kalau kita merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 dimana di pasal 28 tentang hak asasi manusia bahwa setiap warga negara ini berhak untuk mendapatkan perlindungan, dan dia pun harus bebas dari rasa takut, atau dalam hal mengekspresikan apa yang dia alami. Yang terjadi kan, perempuan tidak akan pernah berani menyuarakan itu, ataupun peristiwa yang dia alami ketika belum benar-benar mentok. Nah, kesadaran-kesadaran semacam inilah yang kemudian memang harus dibangun dalam budaya kita,” imbuh Anis Farida. [pr/em]