Pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri China untuk menyelesaikan perselisihan dengan Indonesia terkait aktivitas penangkapan ikan dan masuknya sejumlah kapal pasukan penjaga pantai China ke perairan Natuna secara bilateral, mendapat perhatian luas.
Pakar hukum internasional di Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, kepada VOA mengatakan Indonesia seharusnya menolak usul pembicaraan bilateral itu karena “jika China tidak mengakui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna Utara, maka Indonesia tetap harus konsisten untuk tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan China,” ujar Hikmahanto.
Ditambahkannya, sikap Indonesia ini telah mendapat penegasan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaian sengketa antara Filipina dan China. Dalam putusannya, PCA tidak mengakui dasar klaim China atas sembilan garis putus, maupun konsep hak penangkapan ikan tradisional, “dan dasar klaim China itu tidak dikenal dalam UNCLOS, di mana Indonesia dan China adalah anggotanya.”
Hikmahanto menegaskan agar “jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA itu, dirusak dengan suatu kesepakatan antar kedua negara.”
Kemlu RI Kembali Tolak Klaim China
Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk kedua kalinya dalam satu minggu terakhir ini kembali mengecam sikap China yang melakukan penangkapan ikan ilegal di Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE dan pelanggaran kedaulatan oleh pasukan penjaga pantai China di Perairan Natuna.
“Sehubungan dengan pernyataan Jubir Kemlu RRT (China.red) pada tanggal 31 Desember 2019, Indonesia kembali menegaskan penolakan atas klaim historis atas ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia),” demikian petikan pernyataan Kementerian Luar Negeri Indonesia hari Rabu (1/1). Sebelumnya Indonesia telah memanggil Duta Besar China Untuk Indonesia untuk menyampaikan nota protes atas hal itu.
BACA JUGA: Langgar ZEE, Indonesia Sampaikan Nota Protes pada ChinaIndonesia menilai klaim China atas ZEEI dengan alasan para nelayan China telah sejak lama beraktivitas di perairan itu, merupakan klaim universal yang “tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982.” Kemlu Indonesia menggarisbawahi bahwa “klaim China itu sudah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal tahun 2016.” [UNCLOS adalah United Nations Convention for the Law of the Sea atau Konvensi Hukum Laut PBB].
Namun, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan “Indonesia menerima atau tidak klaim mereka, hal itu tidak dapat mengubah fakta obyektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan di wilayah laut yang relevan.”
Indonesia sudah sejak lama menolak istilah “relevant waters,” dengan mengatakan “istilah itu tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.”
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia tidak mungkin berunding dengan China karena “masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan sembilan garis putus dan hak penangkapan ikan tradisional yang diklaim China.”
Kawasan perairan Natuna terletak sekitar 1.100 kilometer selatan Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan, wilayah yang diklaim oleh China, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Bupati Natuna Usulkan Natuna & Anambas sebagai Provinsi Khusus untuk Tingkatkan Kewenangan Menjaga & Mengelola
Bupati Natuna, Abdul Hamid Rizal, lewat pernyataan tertulis kepada VOA mengatakan telah mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk “memperkuat dan meningkatkan kedudukan pemerintahan di Natuna dan Anambas menjadi provinsi khusus karena berdasarkan UU No.23/Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan terhadap perairan laut sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk menjaga dan mengelola perairan Natuna.”
Menurutnya, jika Natuna dan Anambas dijadikan provinsi khusus maka akan meningkatkan kewenangan untuk menjaga, mengelola dan ikut mengawal wilayah pantai dan laut, khususnya di perbatasan, yang saat ini sebenarnya merupakan kewenangan pemerintah provinsi Riau. (em/pp)