Pakar: Kabinet Besar Prabowo Akan Perlambat Pencapaian Visi Misinya

  • Fathiyah Wardah

FILE: Menteri Pertahanan Indonesia dan Presiden terpilih Prabowo Subianto saat berada di Tokyo, Jepang, 3 April 2024. (KIMIMASA MAYAMA/Pool via REUTERS)

Presiden terpilih Prabowo Subianto menyatakan kabinetnya akan besar. Menurutnya kabinet yang besar diperlukan untuk membangun pemerintahan yang kuat. Sementara pakar menilai kabinet yang gemuk justru tidak efektif dan akan memperlambat pencapaian visi misi Prabowo.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui penambahan dua komisi dari 11 menjadi 13 dan pembentukan Badan Aspirasi pada alat kelengkapan dewan (AKD) periode 2024-2029.

Dengan demikian, AKD terdiri dari Komisi I hingga Komisi XIII. Selain ketigabelas komisi itu, akan ada Badan Musyawarah,Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan dan Kerja sama Antarparlemen, Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Aspirasi Masyarakat dan Badan Kehormatan Dewan.

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan penambahan dua komisi dilakukan untuk memperkuat, menyinergikan dan menyelaraskan rencana penambahan kementerian dari presiden terpilih Prabowo Subianto. Menurutnya, DPR masih menunggu nomenklatur kabinet untuk mengumumkan mitra dari 13 komisi yang dibentuk.

“Kami masih menunggu pengumuman dari presiden terpilih yang akan dilantik pada tanggal 20 Oktober yang akan diumumkan berapa kementerian dan kementerian apa saja. Dari sana baru kami akan mengetahui dan mensinergikan atau selaraskan dengan komisi-komisi yang ada di DPR,” ujarnya.

Politikus Partai Gerindra yang tidak mau disebutkan namanya menyatakan nomenklatur kementerian dalam kabinet Prabowo akan berjumlah 46 atau 48, dari sebelumnya yang hanya 34.

Presiden terpilih Prabowo Subianto juga sempat menegaskan bahwa kabinetnya akan besar. Menurutnya kabinet yang besar diperlukan untuk membangun pemerintahan yang kuat. Dia menuturkan dirinya juga perlu merangkul semua kalangan yang mewakili wilayah Indonesia barat, tengah, dan timur.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan negara yang besar tidak berarti jumlah kabinetnya harus gemuk. Tugas-tugas pemerintahan, ungkapnya, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat daerah.

Charles menyebutkan beberapa konsekuensi dari kabinet gemuk. "(Pertama) memperlebar jalur kendali presiden terhadap para menteri. Lalu juga memperlebar atau semakin memperkuat ego sektoral karena selama ini dengan jumlah kementerian yang ada saja, ego sektoral itu menjadi sesuatu yang sulit sekali untuk dihindarkan," ujarnya.

Charles Simabura, Universitas Andalas, Padang. (Nurhadi Sucahyo/VOA)

Charles mengungkapkan, para menteri itu berlatar belakang politik yang berbeda. Menurutnya, mereka masuk dalam pemerintahan bukan hanya mengakomodir kepentingan visi dan misi presiden, tapi juga mau mendapat titipan program kerja partai politik mereka masing-masing.

Banyaknya menteri di kabinet, tambahnya, juga akan menyulitkan presiden dalam berkoordinasi dan berkomunikasi. Dia mengatakan, dengan semakin banyak kementerian, ada potensi munculnya regulasi yang berlebihan karena setiap menteri akan mengeluarkan peraturan masing-masing. Ia mencontohkan ketika Kementerian lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan dipecah, kedua menteri akan membuat aturan baru lagi.

Charles juga menyoroti akan makin banyak tugas dan fungsi kementerian yang beririsan seperti antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, serta antara Kementerian Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal dan Kementerian Dalam Negeri.

Di samping itu, ungkapnya, kementerian baru membutuhkan waktu sedikitnya dua tahun untuk bisa bekerja optimal.

Your browser doesn’t support HTML5

Pakar: Kabinet Besar Prabowo akan Perlambat Pencapaian Visi Misinya


Kabinet gemuk Prabowo kata Charles, akan membuat visi dan misinya sebagai presiden lambat terwujud, apalagi tantangan dihadapi Indonesia ke depan makin besar. Dia mencontohkan. negara sebesar Amerika Serikat saja hanya memiliki 15 kementerian.

Dia menekankan secara teoritis dalam ilmu pemerintahan, efektifitas pemerintahan hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang minim struktur tapi kaya fungsi dan bukan sebaliknya, minim fungsi namun kaya struktur.

Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menjelaskan penambahan sejumlah kementerian merupakan hal yang kontradiktif dengan tata kelola pemerintahan yang efektif. Menurutnya, makin sedikit atau ramping jumlah kementerian, maka pemerintahan makin efektif.

Manajer Riset Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko (YouTube TII)

Wawan menilai secara politis, penambahan jumlah kementerian lagi-lagi menunjukkan bagi-bagi kue kekuasaan. Dia mengatakan konsolidasi demokrasi bukan dimaknai dengan bagi-bagi kekuasaan, tetapi bagaimana menjamin para oposisi bisa bersuara secara setara dan benar.

"Menjadi oposisi pun dalam demokrasi itu penting. Justru kalau tidak ada oposisi, demokrasi itu nggak akan hidup. Oposisi yang ditekan, oposisi yang direpresif, oposisi yang dikriminalisasi itu malah yang nggak sehat," katanya.

Wawan mengatakan konsekuensi dari penambahan jumlah kementerian akan memperbesar anggaran, baik untuk pembiayaan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Singkatnya, ia menegaskan jumlah kementerian yang meningkat akan sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurutnya, membentuk kabinet gemuk akan membuka lebar peluang terjadinya korupsi dalam konteks kewenangan yang dimiliki kementerian bersangkutan. Dia mencontohkan jika sejumlah lembaga sama-sama memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan, maka akan terjadi tumpang tindih dan silang sengketa.

Wakil ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman berpendapat lain. Ia menganggap penambahan kementerian sebagai hal wajar karena Indonesia merupakan negara yang besar sehingga butuh bantuan dari banyak pihak. [fw/ab]