Temuan tersebut berasal dari studi yang dilakukan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), yang menunjukkan bahwa anak-anak remaja masih mampu membeli rokok batangan dengan menggunakan uang jajanan mereka sendiri.
Olivia Herlinda, Chief of Research and Policy CISCI, menyampaikan bahwa pihaknya melakukan penelitian terhadap 49 siswa di dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di wilayah Jakarta Selatan. Hasil penelitian CISDI menunjukkan bahwa 70 persen dari responden mengakui membeli rokok batangan ketika mereka pertama kali merokok. Para siswa ini memperoleh rokok tersebut dari kios-kios di sekitar sekolah dengan harga terendah sekitar Rp1.000 per batang.
“Penjualan rokok batangan membuat remaja bisa membeli rokok dengan uang jajan harian. Rokok yang sudah murah menjadi lebih terjangkau lagi karena diecer. Bayangkan betapa besarnya alokasi untuk belanja rokok. Padahal, mereka seharusnya bisa menggunakan dana ini untuk kebutuhan esensial seperti membeli makanan bergizi,” ungkap Olivia.
Bahkan, imbuh Olivia, mereka rela merogoh kocek sebesar Rp30.000 hingga Rp200.000 setiap minggu untuk membeli rokok secara eceran. Hal ini menjadi ironis karena jumlah tersebut setara dengan separuh dari pengeluaran per kapita mingguan rata-rata penduduk Indonesia.
Olivia lebih lanjut mengatakan seharusnya kenaikan tarif cukai rokok merupakan salah satu instrumen yang cukup penting dalam rangka menekan prevalensi baik perokok anak maupun perokok dewasa di berbagai negara maju. Untuk itu ia mengimbau pemerintah untuk kembali menaikkan persentase cukai rokok.
“Kalau WHO merekomendasikan minimum 75 persen dari harga jual, kemudian kalau dari Permenkeu sudah diterapkan bahwa yang paling optimal sebenarnya yang bisa dinaikkan oleh pemerintah adalah 57 persen, tapi kita tidak pernah mencapai itu. Kalau di negara lain bisa sangat tinggi, bisa sampai harga jualnya enam kali lipat dibandingkan harga rokok di Indonesia,” jelasnya.
Selain kenaikan tarif cukai, ia berpendapat pemerintah perlu melakukan kebijakan lain yang tidak kalah pentingnya seperti pelarangan total penayangan iklan dan promosi rokok, pelarangan penjualan rokok batangan, serta simplifikasi tarif layer cukai.
CISDI juga mendorong penegakkan dan pemberian sanksi atas pelanggaran penjualan produk tembakau pada anak di bawah usia 18 tahun. Olivia menuturkan sebenarnya Indonesia sudah memiliki aturan jelas mengenai hal ini, tetapi seringkali tidak dipatuhi oleh penjual.
Pemerintah ke depan, katanya, juga harus mewajibkan penjual memiliki lisensi untuk menjual rokok. Berkaca dari negara lain, penerapan lisensi tersebut, cukup efektif untuk mengontrol penjualan rokok di level akar rumput.
BACA JUGA: Peraturan Pengendalian Rokok Belum Satu Suara, Ancaman Bagi Anak Indonesia“Lawan peredaran rokok ilegal. Rokok ilegal buruk bagi pemasukan negara dari cukai dan karena murah mendorong perokok untuk tetap merokok,” tambahnya.
Peningkatan Prevalensi Perokok Remaja
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengakui terdapat peningkatan prevalensi perokok pada usia 10-18 tahun sebesar 9,1 persen pada 2018. Menurutnya, jika ini tidak dikendalikan maka jumlah perokok usia muda ini akan bisa mencapai 15 persen di 2024 mendatang.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan terus mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk mengurangi jumlah perokok, termasuk melalui penerapan aturan pelarangan penjualan rokok batangan dan rokok elektrik.
Data menunjukkan sebanyak 71,3 persen remaja memperoleh rokok secara eceran atau batangan. Selain itu, kata Nadia, pemerintah juga terus memberikan peringatan kesehatan bergambar sebagai upaya untuk memberikan informasi yang lebih kuat tentang risiko kesehatan akibat merokok.
Selain itu, Nadia menekankan perlunya pengaturan terkait iklan dan promosi rokok yang saat ini masih tersebar luas. Ketika ditanya tentang dampak rokok terhadap generasi muda, Nadia menjelaskan bahwa konsekuensinya akan terasa dalam jangka panjang.
“Kalau kita lihat bahwa misalnya jantung koroner yang sekarang bergeser ke arah usia muda, itu kalau salah satu penyebabnya karena rokok. Lalu angka kecenderungan anak-anak yang di keluarganya itu atau ortunya merokok sakit ISPA-nya (Infeksi Saluran Pernafasan Akut -red) lebih tinggi dibandingkan anak yang anggota keluarganya itu yang tidak merokok,” jelas Nadia.
Your browser doesn’t support HTML5
Pita Cukai Rokok 2024
Sementara itu Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengatakan pihaknya telah menyiapkan 17 juta pita cukai rokok baru untuk kebutuhan Januari 2024. Langkah ini sejalan dengan rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun mendatang.
“Ini sesuai dengan pemesanan dari industri rokok yang sudah menyampaikan kepada kantor pelayanan bea dan cukai di banyak wilayah. Dan proses pencetakan sudah kita siapkan, dan mereka hanya berpesan dan berharap bawah pencetakan akan sesuai dengan target di 1 Januari mereka sudah bisa menggunakan pita cukai baru,” ujar Askolani.
BACA JUGA: Tekan Prevalensi Perokok Anak, Kemenkes Godok Pembatasan Iklan Rokok DaringIa menjelaskan adanya pita cukai baru tersebut menunjukkan konsistensi Kementerian Keuangan untuk terus memperkuat pengawasan dalam menekan penjualan rokok ilegal dengan pita cukai palsu.
“Sampai Oktober kita sudah bisa meningkatkan tindakan daripada pengawasan pita cukai yang palsu dan yang tidak sesuai dengan peruntukannya sekitar 651 juta batang di antaranya meliputi Jawa Timur sekitar 84 juta batang, di Jawa Tengah 36 juta,” jelasnya.
Askolani mengatakan, bhasil studi sebuah universitas menunjukkan bahwa penindakan dari pita cukai membantu meningkatkan produksi sekitar 5,3 persen dan meningkatkan penerimaan negara sebesar 0,3 persen.
“Tentunya competitiveness daripada kegiatan legal sangat kita butuhkan. Jangan sampai kemudian rokok legal dikalahkan oleh rokok ilegal yang menggunakan pita cukai yang tidak pas. Sehingga ini satu kombinasi kebijakan yang kita lakukan konsisten melakukan selain kebijakan tarif ditujukan untuk menurunkan prevalensi daripada perokok, juga mempertimbangkan dari industri dan pekerja serta petani cengkeh dan tembakau,” paparnya.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau untuk rokok sebesar 10 persen pada 2024. Sementara itu, untuk rokok elektrik dan untuk produk pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL), tarifnya masing-masing akan dinaikkan sebesar 15 persen dan enam persen pada 2024. [gi/ah]