Pakar PBB: AS Harus Minta Maaf Kepada Narapidana Teluk Guantanamo

Pemandangan menara kendali Camp VI pada pusat penahanan Guantanamo, Kuba, pada 17 April 2019. (Foto: AP/Alex Brandon)

Pakar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada Senin (26/6), mengatakan bahwa perlakuan pemerintah Amerika Serikat terhadap narapidana Teluk Guantanamo kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat di bawah hukum internasional. Ia mengimbau Washington untuk meminta maaf dan memberikan ganti rugi.

“Saya mengamati bahwa setelah selama dua dekade dalam tahanan, penderitaan orang-orang yang ditahan sangat mendalam dan masih terus berlanjut,” kata Fionnuala Ni Aolain di PBB. Ia adalah pakar PBB pertama yang melakukan kunjungan resmi ke fasilitas penahanan yang terletak di Kuba tersebut.

“Setiap tahanan yang saya temui hidup dengan luka tak berkesudahan akibat praktik pemindahan, penyiksaan dan penahanan sewenang-wenang yang sistematis,” ungkapnya. Ia mengatakan bahwa pengekangan yang tak semestinya dan pengawasan yang hampir terus dilakukan merupakan kekurangan yang ada saat ini.

Pentagon tidak segera merespons permintaan tanggapan.

Your browser doesn’t support HTML5

21 Tahun Penjara AS di Guantanamo Bay, Aktivis Semakin Pesimistis Tersangka Teroris Bakal Dilepas

Penjara itu dibangun pada 2002 oleh mantan Presiden AS George W. Bush untuk menahan para tersangka militan asing setelah serangan 11 September 2001 ke AS. Jumlah narapidana yang ditampung terus meningkat hingga mencapai puncaknya, yaitu sekitar 800 orang, sebelum kemudian akhirnya menyusut.

Presiden AS Joe Biden mengaku ingin menutup penjara itu, namun belum menyampaikan rencana konkret untuk melakukannya. Saat ini tersisa 30 tahanan yang berada di sana.

Komentar pakar independen PBB itu menambah panjang kritik yang sebelumnya disampaikan oleh organisasi Palang Merah Internasional dan badan PBB lainnya.

“Pemerintah AS harus segera memberikan resolusi yudisial, permintaan maaf dan jaminan tidak akan mengulanginya lagi,” tambahnya.

Meski demikian, ia memuji Washington atas akses yang diberikan kepadanya. “Hanya sedikit negara yang menunjukkan keberanian seperti itu,” ungkapnya. [rd/lt]