Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyatakan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana telah lolos verifikasi faktual dan berhak maju dalam pemilihan gubernur atau pilgub Jakarta 2024 melalui jalur independen.
Namun pencalonan keduanya mendapatkan sorotan karena diduga mencatut Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercatat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) banyak warga Jakarta.
Banyak warga Jakarta mengaku tidak mendukung mereka dan tidak tahu bahwa datanya telah digunakan. Mereka melakukan pengecekan data secara mandiri melalui laman info Pemilu. Situs tersebut memuat data masyarakat yang digunakan sebagai dukungan pada bakal calon pasangan kepala daerah.
Pengajar hukum pemilihan umum di Universitas Indonesia Titi Anggraini menjelaskan syarat maju sebagai calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah sangat berat. Ada kenaikan persyaratan mulai tahun 2015, dari 3-6,5 persen dukungan dari jumlah penduduk menjadi 6,5-10 persen sokongan dari mereka yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) terakhir.
Dia menambahkan pada pemilihan kepala daerah November nanti, diperkirakan hanya 70-an calon perseorangan yang bisa lolos verifikasi administrasi. Syarat makin berat karena jumlah dukungan harus diverifikasi faktual melalui model sensus bukan sampel.
BACA JUGA: Hormati Keputusan DKPP, Jokowi Pastikan Pilkada Serentak Berjalan BaikArtinya tiap orang yang memberi dukungan harus ditemui langsung oleh petugas KPU untuk memastikan benar tidaknya yang bersangkutan mendukung calon perseorangan tersebut. Kalau tidak bisa ditemui, atau dihadirkan, harus ada pernyataan tertulis dari pihak yang mendukung.
Titi mengatakan pencatutan data pribadi oleh bakal calon perseorangan tidak hanya terjadi tahun ini. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pencatutan dukungan, yakni data pribadi tidak terlindungi dengan baik.
Ia menilai, pencatutan data pribadi itu di pemilihan gubernur/wakil gubernur DKI Jakarta cukup masif. Oleh karena itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi DKI Jakarta tidak boleh sekadar menunggu sampai ada laporan soal pencatutan data pribadi. Pasalnya, kata Titi, ini menyangkut kepercayaan publik terhadap proses pemilihan kepala daerah.
Dia menegaskan pencatutan data pribadi merupakan pelanggaran berat dalam pemilihan kepala daerah. Jika orang yang tidak berhak ditetapkan sebagai calon, itu merupakan kejahatan pemilihan umum.
Menurut Titi, hal itu sudah diatur dalam UU Pemilihan Kepala Daerah Nomor 8 Tahun 2015 dan Nomor 10 Tahun 2016.
"Memberikan keterangan tidak benar atau dkumen palsu dalam pencalonan perseorangan merupakan tindak pidana pilkada (pemilihan kepala daerah). Hukumannya itu minimal 12 bulan, maksimal 36 bulan (penjara) dan denda minimal Rp 12 juta, maksimal Rp 36 juta.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Gina Sabrina menjelaskan sejak kemarin PBHI membuka posko aduan bagi warga DKI Jakarta yang dicatut data pribadinya.
"Per (jam) 19:25 (kemarin), kami setidaknya sudah merekap sebanyak 205 data pelapor melalui kanal PBHI dan surat elektronik kami. Jumlah itu kami estimasikan akan terus bertambah," ujarnya.
BACA JUGA: Jelang Pilkada 2024, Adu Strategi Usung Kandidat Demi Meraih Suara RakyatGina menjelaskan PBHI akan memverifikasi aduan tersebut, termasuk menghubungi pelapor agar bisa segera memberikan kuasa kepada PBHI sehingga dapat melaporkannya ke KPU, Bawaslu, dan Badan Reserse dan Kriminal Polri.
PBHI juga mendesak KPU meminta memverifikasi ulang data jumlah dukungan atas nama bakal calon perseorangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana tanpa menunggu laporan.
Aulia Postiera, eks pegawai KPK yang menjadi korban pencatutan KTP oleh pihak bakal calon independen, mengaku kaget datanya dicatut sebagai pendukung bakal calon gubernur DKI Jakarta dari jalur perseorangan itu.
"Sudah jelas ada dua kesalahan, tidak sepengetahuan saya data pribadi saya digunakan sebagai data pendukung dan bagaimana mungkin saya yang saat ini sudah berdomisili di Tangerang memberikan dukungan kepada calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta," ujarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Aulia yang mengaku sangat dirugikan itu menilai perlindungan data pribadi di Indonesia benar-benar lemah. Padahal dalam Pasal 65 Undang-undang Perlindungan Data Pribadi Nomor 27 Tahun 2022, katanya, disebutkan siapa saja memperoleh dan mengumpulkan data pribadi milik orang lain yang menguntungkan dirinya atau orang lain merupakan perbuatan pidana dengan ancaman hingga lima tahun.
Aulia menegaskan pencurian data pribadi bagi kebutuhan bakal calon independen merupakan skandal besar. Dia mempertanyakan bagaimana mungkin KPU meloloskan bakal calon yang mencatut data pribadi orang lain.
Komisioner Bawaslu DKI Jakarta Benny Sabdo mengatakan lembaganya akan membentuk tim khusus untuk melakukan penelusuran terhadap dugaan pencatutan data pribadi tersebut.
Selain itu, Bawaslu tambahnya juga telah membuat posko pengaduan. Posko itu berada di kantor Bawaslu tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga kecamatan. [fw/ab]