Presiden terpilih Prabowo Subianto disebut berencana menambah jumlah kementerian di kabinetnya menjadi 40. Jumlah ini melebihi jumlah kementerian yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Kementerian Negara, yakni maksimal 34 kementerian.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah menilai penambahan tersebut melanggar Undang-Undang Kementerian Negara. Dia menduga rencana penambahan jumlah kementerian tersebut akan dilakukan melalui perubahan undang-undang. Oleh karena itu, kata Herdiansyah, aksi merangkul kelompok oposisi kencang dilakukan biar aman prosesnya.
Selain mengubah undang-undang, kata Herdiansyah, penambahan jumlah kementerian itu bisa juga melalui Mahkamah Konstitusi.
Dia menekankan jumlah kementerian yang terlalu banyak tidak akan efektif dan boros karena pekerjan yang harusnya bisa digarap oleh satu kementerian malah dikerjakan “ramai-ramai”.
BACA JUGA: Wacana “Klub Presiden” Tuai SorotanSelain itu, kata Herdiansyah, semakin banyak kementerian maka ancaman korupsinya juga akan besar. Oleh karena itu, dia menilai penambahan kementerian bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Penambahan itu, ungkapnya, hanya untuk bagi-bagi jatah kekuasaan.
“Saya memandang alasan-alasan itu lebih kepada soal politik. Bagi-bagi kekuasaan karena koalisi Prabowo gemuk, maka otomatis supaya jatah-jatah kue kekuasaan ini juga merata ya, mesti ditambah jumlah kementerian supaya semua bisa dapat,” kata Herdiansyah kepada VOA.
Untuk mencegah itu, tambahnya, presiden terpilih harus memilih banyak orang-orang profesional yang kompeten sebagai menterinya dan mengurangi jumlah orang-orang partai politik.
Menurutnya alasan rasional perlu lebih dikedepankan karena menjalankan negara tidak cukup dengan hanya “bagi-bagi kekuasaan”.
“Kalau secara psikologi politik, satu yang diberikan pasti yang lain minta jatah. Jadi lebih baik pasang saja orang profesional, kurangi jumlah orang-orang partai politik. Kita paham jatah partai politik pasti ada tapi menurut saya jauh lebih penting memikirkan bagaimana menjalankan negara dengan berdasarkan kompetensi masing-masing,” tambahnya.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menjelaskan penambahan sejumlah kementerian merupakan hal yang kontradiktif terkait tata kelola pemerintahan yang efektif, yakni makin sedikit atau ramping jumlah kementerian, maka pemerintahan makin efektif.
Wawan menilai secara politis, penambahan jumlah kementerian lagi-lagi menunjukkan bagi-bagi kue kekuasaan. Dia mengatakan konsolidasi demokrasi bukan dimaknai dengan bagi-bagi kekuasaan, tetapi bagaimana menjamin para oposisi bisa bersuara secara setara dan benar.
"Menjadi oposisi pun dalam demokrasi itu penting. Justru kalau tidak ada oposisi, demokrasi itu nggak akan hidup. Oposisi yang ditekan, oposisi yang direpresif, oposisi yang dikriminalisasi itu malah yang nggak sehat," katanya.
Wawan mengatakan konsekuensi dari penambahan jumlah kementerian akan memperbesar anggaran untuk membiayai kementerian tersebut, baik pembiayaan yang bersifat belanja langsung dan tidak langsung. Kemudian, bertambahnya jumlah kementerian juga akan sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
BACA JUGA: PR Indonesia Pasca Pemilu: UU Kelembagaan Presiden dan Penataan ParpolMenurutnya, membentuk kabinet gemuk akan membuka lebar peluang terjadinya korupsi dalam konteks kewenangan yang dimiliki kementerian bersangkutan. Dia mencntohkan jika sejumlah lembaga sama-sama memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan, akan tumpang tindih dan terjadi silang sengketa.
Wakil ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menganggap penambahan kementerian sebagai hal wajar karena Indonesia merupakan negara yang besar sehingga butuh bantuan dari banyak pihak.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, revisi Undang-Undang Kementerian Negara diperlukan agar bangsa Indonesia mengikuti perkembangan zaman. Dia mengatakan revisi UU tersebut bisa membuah jumlah kementerian bertambah menjadi 40 lebih, bahkan juga bisa berkurang menjadi di bawah 34.
Dia menjelaskan revisi UU Kementerian Negara tidak otomatis berbicara soal jumlah kementerian semata, melainkan juga perubahan nomenklatur untuk menyesuaikan kebutuhan oembangunan Indonesia seiring dengan perkembangan.
“Undang-undang Kementerian Negara terakhir tahun 2008, UU Nomor 9 Tahun 2008. Jadi sudah 16 tahun. Tentu saya kira 16 tahun ini sudah banyak perubahan kemajuan, situasi baik domestik Indonesia maupun dunia global. Saya kira sudah cukup pantas untuk kita mengkaji ulang apakah struktur pemerintahan/ kementerian ini masih up-to-date atau tidak dengan situasi sekarang,” kata Doli. [fw/ft]