Pakar: Untuk Jamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Perlu Pendekatan Kewargaan Inklusif

  • Petrus Riski

FILE - Dua puluhan siswa-siswi SMA berbagai agama mengunjungi GKP Kampung Sawah, 30 April 2019, dalam rangka wisata toleransi di Kampung Sawah. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Sejumlah pakar berpendapat, Indonesia masih menghadapi persoalan serius terkait kasus-kasus KBB (kebebasan beragama dan berkeyakinan). Selama 20 tahun sejak reformasi, banyak kasus belum terselesaikan bahkan ada kecenderungan sejumlah pihak memanfaatkann hukum untuk menindak yang dianggap berbeda.

Perjalanan 20 tahun reformasi di Indonesia sejak 1998 masih menyisakan berbagai persoalan terkait KBB, baik yang mengarah pada sisi positif maupun sisi negative, kataZainal Abidin Bagir, pengajar Universitas Gajah Mada (UGM). Zainal, yang juga menjabat sebagai direktur Indonesia Consortium for Religious Studies, mengatakan terdapat ambiguitas dalam advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dapat menimbulkan keriuhan di ruang publik.

Direktur Indonesia Consortium for Religious Studies, Zainal Abidin Bagir (foto layar Petrus Riski-VOA)

Ambiguitas itu nampak dalam jaminan formal Hak Asasi Manusia (HAM), politik hukum lama yang masih berlaku seperti Undang-Undang tentang penodaan agama, serta adanya ruang gerak besar untuk beragam kelompok termasuk yang anti terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Konsekuensi atas semua itu, menurut Zainal, memunculkan yudisialisasi konflik keagamaan atau menjadikan hukum sebagai alasan untuk melakukan tindakan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Konflik agama itu sudah lama ada, tapi setelah reformasi dia menjadi lebih yudisial, jadi menggunakan alasan-alasan hukum, termasuk isu-isu penodaan agama. Ahmadiyah itu sudah lama kontroversial misalnya, ada debat macam-macam, tapi dia tidak disasar dengan suatu peraturan atau hukum. Nah, setelah 2005 baru itu, hukum yang ada ini, Undang-Undang Penodaan Agama sudah ada sejak 1965, tapi baru 2005 dipakai untuk Ahmadiyah. Baru pada tahun 2012 dipakai untuk Syiah. Kenapa baru 2012, ini yang saya sebut sebagai yudisialisasi konflik keagamaan,” sebutnya.

Direktur Program The Asia Foundation, Renata Arianingtyas (foto layar Petrus Riski-VOA)

Direktur Program The Asia Foundation, Renata Arianingtyas, mengatakan peristiwa reformasi tidak hanya menimbulkan krisis ekonomi dan politik, namun juga memunculkan kesempatan berkembangnya otonomi daerah sekaligus konflik sektarian yang cukup besar antara 1999 hingga 2004. Identitas agama dan suku, katanya, menjadi alat untuk merebut ruang-ruang publik, dan merepresi apa yang dianggap berbeda.

Renata menyebut negara masih menjadi aktor utama yang menyebabkan terulangnya konflik-konflik sosial, diikuti kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan yang mengusung semangat kedaerahan dan identitas sosial.

Your browser doesn’t support HTML5

Pakar, Untuk Jamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Perlu Pendekatan Kewargaan Inklusif

“Kalau melihat dari kasus KBB, yang menjadi aktor-aktor yang memobilisasi konflik terjadi itu ada Muspida, ada Kominda waktu itu Komando Intel Daerah, dan kelompok agama, waktu itu MUI dan berbagai organisasi agama yang mendorong framing atau membangun proyeksi ancaman di lokal. Nah, yang paling sering kita ingat waktu itu saya kira, ada kalimat yang framing orang lokal yang harus berkuasa, ini di otonomi daerah ya,” kata Renata.

Konflik-konflik sosial terkait KBB, ujar Renata, masih terus berlanjut hingga periode kedua kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, akibat masih dipertahankannya praktik-praktik impunintas. Selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, menurutnya, impunitas juga masih dipertahankan.

BACA JUGA: Kehidupan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Masih Jauh dari Harapan


Renata mengatakan, upaya advokasi terhadap kasus-kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan telah banyak dilakukan, termasuk dialog dan kerja sama dengan pemerintah. Renata mengatakan, advokasi untuk melawan dan bekerja sama dapat dilakukan secara bersama-sama, sambil melihat momentum serta kebutuhan jaringan mobilisasi yang dimiliki.

“Variasi pilihan advokasi itu diperlukan bisa berjalan pararel, tidak perlu harus memilih salah satu dalam setiap upaya melakukan advokasi atau menyelesaikan suatu kasus, itu ternyata semua pilihan dari mediasi, negosiasi, hingga jalur hukum itu bisa dilakukan,” jelasnya.

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Ayu Diasti Rahmawati (foto layar Petrus Riski-VOA)

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada, Ayu Diasti Rahmawati, mendorong perlunya strategi advokasi kewargaan inklusif, yang mengkolaborasikan berbagai bentuk advokasi yang dapat dijalankan dengan mengedepankan hak warga sepenuhnya sebagai inti perjuangan bersama.

“Permasalahan KBB, inti masalahnya adalah ekslusi dan diskriminasi di berbagai aspek kehidupan, sehingga wajar dan menurut saya sudah semestinya kalau problem ini juga didekati dengan perspektif kewargaan inklusif, dan sudah dimulai. Nah, advokasi dengan pendekatan kewargaan inklusif, secara teoritis, secara ideal bertujuan memastikan semua warga termasuk mereka yang selama ini dimarginalkan atau diminoritaskan itu diakui sebagai warga sepenuhnya,” sebutnya. [pr/ab]